Pungutan dari OJK menuai kritik



JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menarik iuran untuk aksi korporasi emiten. Jumlahnya beragam, sesuai dengan aksi korporasi emiten yang bersangkutan.

Misalnya saja, soal biaya pendaftaran dalam rangka penawaran umum, yang dikenakan pungutan sebesar 0,05% dari total nilai emisi. Pengamat Pasar Modal, Yanuar Rizky menilai, adanya pungutan semacam ini membuat independensi OJK sebagai wasit pasar modal dipertanyakan.

Pasalnya, dengan adanya pungutan itu, terutama pungutan terhadap aksi korporasi, akan membuka peluang penyalahgunaan dari oknum-oknum tertentu untuk melancarkan suatu aksi korporasi.


Menurut Yanuar, pungutan tersebut bakal mendegradasi posisi OJK menjadi Self Regulatory Organization (SRO) seperti Bursa Efek Indonesia (BEI).

Padahal, OJK memiliki posisi yang lebih tinggi dalam hal pengawasan lembaga keuangan dan pasar modal. "Seharusnya yang bersentuhan langsung terhadap berbagai pungutan itu adalah BEI. Jika memang dibutuhkan pungutan, seharusnya sudah cukup BEI yang membayar OJK," katanya, Senin (24/2).

Yanuar menambahkan, pelaku keuangan seharusnya tak bersentuhan langsung dengan pengawas. Ia khawatir, aksi korporasi yang tidak sesuai dengan prosedur bisa diloloskan oleh oknum atas nama pungutan-pungutan itu.

Soalnya, OJK-lah yang akan memberi persetujuan terhadap berbagai aksi korporasi. "Esensi kewibawaan OJK bisa merosot," ujarnya.

Setali tiga uang, Reza Priyambada, Kepala Riset Trust Securities mengatakan, berbagai pungutan ini menekan independensi OJK. Bukan cuma itu, hal ini memberikan dampak ke emiten seperti kenaikan beban biaya.

Emiten harus mencari cara untuk menutup tambahan beban dari berbagai aksi korporasi yang akan dijalankan.

"Apalagi untuk perusahaan yang akan masuk ke bursa, ini bisa menjadi catatan khusus atau pertimbangan perusahaan yang mau listing," jelasnya. Menurutnya, sebaiknya OJK hanya menetapkan biaya administrasi standar untuk pelaporan saja, bukan menetapkan berbagai pungutan yang menambah cost emiten.

"Cost emiten akan tinggi. Biasanya, investor yang berani mengambil high cost akan mengabsorb high risk. Sehingga aksi korporasinya bisa ada potensi lebih berisiko," tandas Yanuar. Meski demikian, Yanuar berharap, OJK tetap menjalankan fungsi pengawasannya dengan lebih cermat menjadikan iklim investasi di Indonesia lebih baik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri