KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pungutan ekspor crude palm oil (CPO) beserta produk turunannya dihapuskan sementara hingga 31 Agustus 2022. Kebijakan ini diprediksi hanya memberikan efek terbatas dan sementara bagi pergerakan saham emiten CPO. Dengan kebijakan ini pemerintah menggratiskan pungutan ekspor CPO selama periode tersebut. Setelah itu, tarif pungutan ekspor CPO akan berlaku kembali secara progresif. Ketentuan penghapusan pungutan ekspor CPO dan turunanya ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115/PMK.05/2022, tentang Perubahan atas PMK Nomor 103/PMK.05/2022 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan.
Founder dan CEO Finvesol Consulting Fendi Susiyanto mengatakan, di tengah anjloknya harga CPO, pengenaan pungutan ekspor di Indonesia dan pungutan impor di negara tujuan menjadi beban bagi perusahaan. Dengan dihapuskannya pungutan ekspor, beban perusahaan bisa sedikit berkurang.
Baca Juga: Laba Diproyeksi Melesat, Berikut Rekomendasi Saham Vale (INCO) Namun, Fendi memprediksi kebijakan ini tidak akan banyak berdampak bagi emiten di sektor kelapa sawit. Sekalipun berdampak, hanya akan terbatas dan bersifat sementara. Ada sejumlah alasan yang mendasari prediksi tersebut. Faktor-faktor ini juga turut menjadi tantangan bagi sektor CPO di sisa tahun ini. Pertama, penghapusan pungutan ekspor ini hanya berlangsung sementara, dengan periode waktu kurang dari dua bulan. Setelah itu, pengenaan tarif ekspor akan kembali berlaku secara progresif. Kedua, tekanan yang lebih serius datang dari anjloknya harga CPO, terutama setelah kebijakan larangan ekspor pada 28 April 2022 hingga 22 Mei 2022 lalu. Harga CPO yang sebelumnya berkisar di level 6.000 - 7.000 ringgit (MYR) kini berada di kisaran 3.600 MYR. Ketiga, industri kelapa sawit tergolong high regulated yang bisa saja menghambat perkembangan bisnis perusahaan. Produk kelapa sawit diatur dari hulu hingga hilir, terutama untuk penyediaan kebutuhan dalam negeri seperti minyak goreng, biofuel dan biodiesel. "Sektor CPO banyak tantangannya. Pergerakan sahamnya pun berfluktuasi cukup tinggi. Tren sekarang dalam posisi turun cukup signifikan," ujar Fendi saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (17/7). Ketimbang kebijakan ini, pelaku pasar ditaksir lebih mempertimbangkan outlook pasar dan harga CPO di sisa tahun ini. "Investor di pasar modal lebih melihat outlook ke depan bagus atau tidak. Pungutan dihapus sementara, kemungkinan untuk menggairahkan kembali ekspor karena lama tertahan," imbuh Fendi. Kendati begitu, dia menilai, kebijakan penghapusan pungutan ekspor ini tetap bisa memberikan angin segar pada emiten yang punya kapasitas ekspor besar, serta emiten yang memiliki jaringan group bisnis kuat. Meski, sifatnya hanya bersifat jangka pendek saja. Vice President Infovesta Utama Wawan Hendrayana punya pandangan serupa. Bagi emiten yang pemasarannya dominan di dalam negeri, kebijakan ini tidak akan signifikan. Tapi, untuk emiten yang dominan melakukan ekspor, beleid ini bisa mengurangi beban yang akan tergambar pada laporan keuangan kuartal ketiga. "Ada katalis positif, ini bisa memberikan booster bagi kinerja emiten di laporan kuartal ketiga. Kalau sekarang, asumsi investor akan naik, sebagai katalis jangka pendek," sebut Wawan. Di sisi lain, Wawan melihat penurunan harga saham emiten sawit belakangan ini sebetulnya sudah bisa terprediksi. Pasalnya, secara historical perminataan sawit akan naik pada kuartal pertama dan keempat. Sehingga, merosotnya harga emiten sawit bersifat seasonal. Oleh sebab itu, Wawan memandang prospek emiten sawit masih menarik untuk jangka panjang. Apalagi, pemerintah juga berencana meningkatkan biodiesel dari B30 menjadi B35 dan B40, yang akan meningkatkan kebutuhan sawit di dalam negeri. Meski, perlu dicatat bahwa harga untuk kebijakan biodiesel tidak akan dilepas pada harga internasional. Melainkan sesuai dengan kebijakan prioritas dalam negeri alias Domestic Market Obligation (DMO). "Kalau dari sisi harga (kebijakan biodiesel) pemerintah akan mengatur. Dalam jangka panjang, memberikan demand yang lebih pasti untuk sawit," imbuh Wawan.
Baca Juga: Cermati Rekomendasi Saham Emiten-Emiten yang Akan Buyback Saham Ini Rekomendasi Wawan, saham-saham emiten sawit masih bisa dikoleksi sebagai bagian dari diversifikasi portofolio. Strategi yang bisa diterapkan adalah buy on weakness (BoW). Sedangkan untuk saham yang berpeluang terpapar katalis positif dari kebijakan penghapusan pungutan ekspor adalah PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI). Pelaku pasar bisa melakukan buy on weakness saham AALI dengan target harga di Rp 9.400 per saham hingga bulan Agustus. Fendi juga memberikan rekomendasi buy on weakness pada saham AALI. Selain itu, investor juga bisa mempertimbangkan buy on weakness pada saham PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP), PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG), dan PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP). Sementara itu, Analis Teknikal MNC Sekuritas Herditya Wicaksana mencermati saham emiten sawit yang tergabung dalam IDX Non-Cyclicals secara teknikal masih rawan untuk terkoreksi. Sebab, pada akhir pekan kemarin ditutup persis di atas support trendline-nya.
Pelaku pasar bisa mencermati saham LSIP, SIMP dan PT Gozco Plantations Tbk (GZCO). Area support SIMP berada di posisi Rp 434. Kemudian LSIP ada di Rp 1.090 dan GZCO berada pada Rp 119. "Investor dapat mencermati saham seperti LSIP, GZCO dan SIMP, selama emiten tersebut masih mampu bergerak di atas support-nya maka diperkirakan masih berpeluang berbalik menguat kembali," imbuh Herditya.
Baca Juga: Kinerja Bank-Bank Besar Tetap Solid, Lihat Rekomendasi Sahamnya Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat