Pungutan Ekspor Sawit Dinilai Rawan untuk Disalahgunakan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat Hukum Hamdan Zoelva mendesak pemerintah untuk menghentikan sementara pungutan ekspor sawit sekaligus meninjau alokasi dana yang dihimpun Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit ( BPDPKS ) yang dia nilai sudah jauh menyimpang.

“Petani sawit sudah menjerit dan meminta agar pungutan ekspor dihentikan karena imbasnya ke harga jual TBS. Hentikan dulu pungutan ekspor dan penggunaan dana yang dihimpun BPD PKS untuk biodiesel,” kata dia dalam keterangannya, Senin (11/7).

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menilai Undang-undang no 39 tentang Perkebunan memang membolehkan adanya penghimpunan dana dari pelaku usaha perkebunan. Namun tidak ada peruntukan bagi subsidi biodiesel. Dalam pasal 93 penggunaannya untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi Perkebunan, peremajaan, Tanaman Perkebunan, dan/atau sarana dan prasarana Perkebunan.


Dalam perkembangan berikutnya, lanjut Hamdan, lahir PP No. 24, tanggal 25 Mei 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan. Dalam pasal 9 diatur penggunaan dana, salah satunya untuk bahan bakar nabati (biofuel). Di luar itu, juga digunakan pengembangan Perkebunan, pemenuhan hasil Perkebunan untuk kebutuhan, dan hilirisasi industri Perkebunan.

Baca Juga: Startup Agritech AgriAku Raih Pendanaan Seri A 520 Miliar untuk Ekosistem Petani

“Dari aturan tersebut jelas, dana pungutan ekspor bukan hanya untuk biodiesel. Tapi prakteknya mayoritas untuk subsidi biodiesel. Artinya dana yang dihimpun tidak kembali ke petani, khususnya untuk pengembangan sember daya manusia dan replanting,” tegasnya.

Hamdan mengingatkan bahwa tahun 2017 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah merilis pernyataan tentang potensi korupsi pungutan ekspor sawit. 

“Subsidinya salah sasaran. Dinikmati oleh korporasi besar yang oknum pejabatnya tersangkut kasus korupsi minyak goreng,” pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, dua organisasi petani sawit yakni Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI) dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) meminta pemerintah bertindak cepat melakukan pencabutan aturan penghambat ekspor dan kebijakan pungutan ekspor. 

Hal tersebut selain berdampak pada rendahnya penyerapan TBS sawit petani juga pada anjloknya harga jual. Menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung (9/7) harga TBS yang ditetapkan oleh Dinas Perkebunan adalah Rp 2.392 per kg, ini rata-rata terhadap 22 provinsi penghasil sawit.

Baca Juga: Pakar IPB: Lockdown di Wilayah Wabah PMK akan Berdampak Signifikan

Namun, harga riil pembelian di tingkat petani lebih rendah dan turun terus.

Dimana, harga pembelian per kilogram TBS pada 4 Juli 2022 rata-rata Rp 916 di petani swadaya dan Rp 1.259 di petani plasma/ bermitra. Pada 5 Juli 2022, harga itu turun menjadi Rp 898 di petani swadaya dan Rp 1.236 di petani bermitra/ plasma. Harga kembali turun pada 6 Juli 2022, menjadi Rp 811 di petani swadaya dan Rp 1.200 di petani mitra/ plasma.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi