KONTAN.CO.ID -JAKARTA. PT Pertamina (Persero) melalui Subholding Power and Renewable Energy (NRE) terus melakukan transisi dari perusahaan migas menjadi perusahaan energi hijau (green energy) yang mencakup delapan portofolio. Perluasan portofolio energi hijau tersebut meliputi energi panas bumi, hidrogen, Baterai EV dan sistem penyimpanan energi, gasifikasi, kilang hijau, bioenergy, serta sirkuler ekonomi karbon dan energi baru terbarukan, salah satunya sebagai project developer untuk proyek-proyek solar PV. Dannif Danusaputro, Direktur Utama Subholding Power and NRE (PNRE) Pertamina, mengatakan di sektor panas bumi, perusahaan akan meningkatkan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).
Jika pada 2020 PLTP yang dikelola oleh PT Pertamina Geothermal, anak usaha Pertamina PNRE sebanyak 672 megawatt (MW) pada 2026 diproyeksian bertambah jadi 1.128 MW. “Dari pengembangan panas bumi, PNRE juga telah memulai inisiatif pemanfaatan hidrogen hijau di Indonesia yang akan menggunakan listrik dari lapangan panas bumi Pertamina dengan potensi total 8.600 kilo gram hidrogen per hari,” ujar Dannif saat berbicara pada webinar dengan tema: "PLTS Atap untuk Industri, Siapa yang Untung?” yang digelar Rabu (23/3). Selain Danif, hadir sebagai pembicara dalam webinar Munief Budiman, Executive Vice President Pelayanan Pelanggan Retail PLN; Ketua APAMSI; Christoper Liawan, CEO PT Sky Energi Indonesia Tbk; dan Karyanto Wibowo, Direktur Sustainable Development Danone Indonesia. Dannif mengatakan, pada portofolio Baterai EV & Sistem Penyimpanan Energi, PNRE Pertamina berpartisipasi dalam perusahaan patungan pengembangan baterai. PNRE Power memproyeksikan pada 2029 produksi batereai 140 GWh. “Kami juga ikut dalam pengembangan ekosistem batera, termasuk swapping dan charging business,” ujarnya. Untuk gasifikasi, PNRE Pertamina juga mengembangkan pembangunan pabrik methanol untuk gasifikasi dengan kapasitas 1000 ktpa. Pabrik methanol tersebut diproyeksikan on stream pada 2025. “Kami juga proyeksikan DME dangan kapasitas 5200 KTPA on stream pada tiga tahun ke depan,” katanya. Untuk green refinery, lanjut Dannif, konstruksi kilang hijau dengan kapasitas 6 – 100 KTPA diproyeksikan pada 2025. Adapun untuk bioenergi peningkatan kapasitas pembangkit pada 2026, terdiri atas biomassa/Biogas 153 MW, Bio blending Gasoil & bensin, Biocrude dari alga dan etanol 1.000 KTPA on stream pada 2025. “Kami juga berencana untuk menerapkan Circular Carbon Economy di beberapa daerah. Ada beberapa kegiatan untuk daur ulang pada biomassa dan biogas dan reduce pada solar PV, EV, dan LNG Bunkering serta penggunaan Kembali (reuse) CO2 untuk EOR dan methanol,” katanya. Hingga empat tahun ke depan, Pertamina PNRE juga focus pengembangan pembangkit PV surya, Angin, dan Hidro. PLTS yang sudah dipasang Pertamina NRE kebanyakan berada di lingkungan Pertamina. “Tahun ini target 200 MW terpasang, kebanyakan adalah rooftop,” katanya. Saat ini Pertamina NRE memiliki kapasitas solar PV 12,4 MW. Selain PLTS, ada juga pembangkit biomass 4,4 MW serta yang menjadi backbone, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) 672 MW dan gas to power 1.760 MW. Menurut Dannif, dari sisi benefit, PLTS seharusnya sesuatu yang mudah untuk dijual, terutama untuk sister company Pertamina NRE. “Key challenge dari sisi affordability, grid connectivity, regulatory barriers, dan access to financing. Regulatory barrier, menurut saya Indonesia masih single buyer, menjadi challenge untuk pemain di renewable,” katanya. Linus Andor Maulana, Ketua Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI), mengatakan faktor negative cycle menjadi penyebab tidak berkembangnya industri solar PV di Indonesia. Negative cyle yang terjadi akibat ada limited capacity sehingga low economic scale tidak tercapai. Selain itu, low demand, low new investment, serta high cost dan price low feasibility. “Kalau industri ini mau ditumbuhkan di hulunya, ada peluang bisnis, menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan kemampuan nasional,” kata Linus. Menurut Linus, di Indonesia banyak tambang kuarsit untuk dikembangkan. Namun untuk itu perlu investasi yang cukup besar. Untuk penambangan dan pengolahan konsentrat kuarsit dan dikembangkan menjadi kuarsa murni diperlukan investasi US$160 juta. Reduksi dan pemurnian dari kuarsa murni ke metalurgical grade investasinya US$455 juta. “Dan untuk menjadi produk elektronika dan chemical, solar cell dibutuhkan investasi US$250 juta,” kata dia. Sementara itu, PT PLN (Persero) memproyeksikan pengembangan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) akan mengalami peningkatan besar-besaran mulai 2028 dikarenakan kemajuan teknologi baterai yang semakin murah. Setelah itu, kenaikan secara eksponensial akan mulai terjadi pada 2040. Menurut Munief Budiman, pada 2045 porsi EBT sudah mendominasi total pembangkit. “Dekade berikutnya seluruh pembangkit listirk di Indonesia berasal dari EBT,” ujar Munief. Munief mengatakan PLN berkomitmen mendukung pemerintah untuk mencapai target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025 yang ditunjukkan pada pilar transformasi green PLN. Transformasi PLN untuk pilar green dengan berupaya memimpin transisi energi Indonesia melalui peningkatan EBT secara pesat dan efisien. “Green breakthrough kami adalah implementasi RJPP 2019-2024, launch green booster 3,5 GW, dan launch large scale reneable energy,” kata Munief Menurut Munief, pada 2015-2019 PLN mempunyai forecast demand dari kebutuhan tenaga listrik yang cukup tinggi. Ini akan menjadi dasar PLN menyiapkan infrastruktur untuk respon pertumbuhan yang tinggi. Namun pada 2016-2017 ternyata pertumbuhan tenaga listrik tidak seperti yang diharapkan. Padahal pada 2015 sudah ada komitmen pembangunan proyek IPP yang sudah berjalan. “Ini menjadi hal yang harus kita antisipasi. Pada 2019 estimasi diupayakan dikoreksi. Pada 2021 estimasi demand dari 361 TWh, dikoreksi jadi 279 TWh. Target 2022 estimasi demand 392 TWh, dikoreksi jadi 300 TW,” ungkap dia. Saat ini sebaran sistem kelistrikan secara nasional semuanya surplus sangat tinggi di atas 30-40%. Ada yang bahkan 109 persen di sistem Nias. Untuk Jawa – Bali surplusnya 50 persen. Munief mengatakan hanya ada beberapa di sistem khatulistiwa yang sistem reserve marginnya 9%. Ini menunjukkan cadangan kapasitas listrik banyak yang belum terutilisasi. “PLN perlu arif dan bijaksana agar kapasitas ini bisa dimanfaatkan dan bisa ikut berpartisipasi dalam pengembangan EBT,” katanya.
Christoper Liawan, Direktur Utama Sky Energy, mengatakan PLTS merupakan salah satu jenis pembangkit EBT dengan potensi terbesar yaitu 207,8 GW. Namun masih ada kendala dalam pengembangan PLTS, khususnya PLTS atap. Berdasarkan hasil kajian, 92 persen masyarakat masih memiliki keraguan untuk menggunakan PLTS atap. Kurang pemahaman terhadap teknologi PLTS atap, masih menganggap harganya mahal, dan belum mendapatkan jawaban yang tepat terkait produk dan manfaat penghematan listrik dari PLTS atap. “Selain itu infrastruktur bangunan di Indonesia masih belum mampu mendukung penggunaan solar panel atap konvensional yang terlalu berat,” kata dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Azis Husaini