KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia mulai memberikan perhatian terhadap komoditas kelapa sawit. Ini karena sawit memiliki competitivenes atau daya saing yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan komoditas lain. Jika secara ekonomi pemerintah telah memberikan perhatian, tidak demikian di sisi politik. “Dari sisi politik belum sama sekali,” ujar pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono saat menjadi pembicara pada Seminar dan Musyawarah Nasional (Munas) Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) X yang berlangsung pada Kamis-Jumat (14-16/3) di Jakarta. Kondisi ini, kata Tony, juga terjadi di sektor pertanian secara umum. Di mana hingga saat ini asosiasi petani tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah maupun dalam pesta demokrasi, baik pada ajang pilkada maupun pilpres.
Menurut Tony, hal ini berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat, di mana bargaining position (posisi tawar) asosiasi petani di negara tersebut sangat kuat. Tony membandingkan jumlah petani di Jepang yang hanya sekitar 1% dari jumlah penduduk Negara Matahari Terbit tersebut. Sementara di AS hanya 5% dan Indonesia sekitar 35% dari total penduduk. Kendati hanya memiliki jumlah petani yang sangat kecil, namun Pemerintah Jepang dan AS sangat konsen dengan swasembada. Hal itu dilakukan pemerintah Jepang dan AS dalam rangka menjaga ketahananpangan (food security). Oleh karena itu, kebijakan yang ditempuh kedua negara tersebut memproteksi sektor pertanian. “Proteksinya berupa harga, tidak boleh menabrak floor price (harga dasar). Kalau menabrak floor price berarti harganya terlalu murah. Nah, kalau murah berarti disinsentif bagi petani, padahal petani di Jepang tinggal 1%. Kalau petani yang tinggal sedikit itu tidak diproteksi, maka mereka akan meninggalkan pertanian. Jadi di Jepang posisi tawar petani itu sangat tinggi,” ujarnya. Sementara di Indonesia sebaliknya, Pemerintah Indonesia justru menerapkan selling price (harga batas atas). “Artinya harga tidak boleh nabrak plafon, kalau nabrak plafon, pemerintah ambil kebijakan impor. Jadi Indonesia lebih memproteksi konsumen,” kata Tony. Untuk sektor sawit, walaupun ada sekitar 20 juta orang yang bekerja di sektor ini, namun posisi tawar asosiasinya juga lemah. “Ini karena memang para petani maupun pelaku usaha sawit di Indonesia belum memiliki tradisi bargaining position,” katanya. Pemerintah seharusnya mulai memberikan perhatian secara politik untuk pertanian, khususnya pada sawit. “Pemerintah mungkin belum tahu ternyata orang yang bekerja di sawit itu cukup besar yakni sekitar 10% dari jumlah penduduk yang punya hak pilih. Untuk itu pemerintah ke depannya harus mempertimbangkan perhatian yang lebih besar pada sektor pertanian,” katanya.
Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya mengatakan, 20 juta orang merupakan angka yang sangat besar. Sehingga seharusnya, asosiasi baik pengusaha kelapa sawit maupun asosiasi petani kelapa sawit memiliki posisi tawar yang tinggi dalam setiap pesta demokrasi, baik pada tataran lokal (pilkada) maupun nasional (pilpres). “Selama ini para pekerja di perkebunan sawit hanya dijadikan sebagai obyek saja. Bahkan tak jarang pengusaha harus ‘nyumbang’ atau diminta sponsorship oleh calon bupati atau gubernur dalam sebuah pilkada,” kata Yunarto. Padahal, kata Yunarto, sebetulnya dari sisi jumlah pemilih, pekerja kebun itu punya nilai tersendiri. Karena jumlahnya banyak untuk di daerah-daerah tertentu. “Jadi saya sepakat kalau pelaku perkebunan sawit jual mahal sedikit lah secara politik. Karena sebenarnya pekerja perkebunan itu punya bargaining position. Apalagi di situ juga ada uang besar. Itu sangat dibutuhkan oleh siapapun yang akan maju di pilkada maupun Pilpres,” papar Yunarto. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri