KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor pertambangan nikel Indonesia diyakini masih cukup cerah. Sejumlah sentimen positif diyakini bakal memoles prospek tambang nikel tahun ini. Analis Henan Putihrai Sekuritas Andreas Yordan Tarigan menyematkan sektor pertambangan nikel Indonesia dengan peringkat overweight. Ada sejumlah faktor yang bisa mendorong penggunaan nikel ke depan. Katalis datang dari rencana larangan ekspor nickel pig iron (NPI) dan feronikel (FeNi) yang diperkirakan dapat mendongkrak harga nikel lebih tinggi. Dalam diskusi terbuka dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada akhir September 2021, perwakilan dari Kementerian Investasi dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengemukakan kemungkinan untuk melarang ekspor produk turunan nikel dengan kandungan nikel lebih rendah dari 70%, termasuk NPI dan FeNi.
Jika peraturan tersebut diterapkan pada tahun 2022, diperkirakan dapat memicu turunnya pasokan nikel dan mendongkrak harga nikel, mengingat Indonesia saat ini menyumbang sekitar 30% dari pasokan global. Katalis juga datang dari industri stainless steel. Andreas berpandangan, krisis energi China dan persiapan Olimpiade Musim Dingin Beijing, yang memberi tekanan pada produksi baja, hanya berlangsung sementara. Oleh karena itu, pada tahun ini, Henan Putihrai mengantisipasi adanya pemulihan permintaan dari industri stainless steel.
Baca Juga: Vale Indonesia (INCO) Siapkan Capex US$ 120 Juta Tahun Ini Selama ini, pasar nikel global didorong oleh produksi stainless steel yang menggunakan nikel kemurnian kelas tinggi 1 dan nikel olahan kelas 2 yang lebih rendah. Permintaan untuk stainless steel mewakili sekitar 72% dari total permintaan nikel. Karena harganya yang rendah, nikel kelas 2 mendominasi pasar stainless steel. Akibatnya, Indonesia dan Filipina memperluas produksi kelas 2 - nya. Namun, terjadi pergeseran berkelanjutan menuju produk nikel kemurnian tinggi (nikel kelas I) sebagai akibat dari pertumbuhan industri kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Beberapa jenis baterai kendaraan listrik menggunakan nikel untuk katodanya, terutama dalam bentuk nikel sulfat. Meskipun permintaan nikel dari segmen baterai masih hanya sekitar 7% dari total permintaan nikel, Andreas menilai segmen EV akan tumbuh dengan cepat. Meningkatnya permintaan baterai membuat Indonesia dan produsen nikel lainnya memperluas pemurnian nikel kelas 1-nya. Filipina misalnya, telah mulai membangun pemurnian nikel kelas 1 lebih awal dari Indonesia. “Secara keseluruhan, kemungkinan penjualan stainless steel yang lebih tinggi dan adopsi EV dapat secara signifikan mempengaruhi permintaan nikel di masa depan,” terang Andreas kepada Kontan.co.id, Selasa (11/1). Lebih lanjut, pembangunan fasilitas pengolahan
high-pressure acid leach (HPAL) dianggap sebagai cara terbaik bagi Indonesia untuk memasuki rantai pasokan baterai EV global. Prosesor HPAL dapat mengonversi limonit, yang merupakan bahan yang dibuang selama proses penambangan, menjadi mixed hydroxide precipitate (MHP) atau mixed sulphide precipitate (MSP). Bahan-bahan ini dapat diolah lebih lanjut menjadi nikel sulfat, yang merupakan komponen utama baterai, tanpa diproses menjadi nikel kelas 1 sebelumnya.
Baca Juga: Prancis Bakal Investasi pada Logam Senilai US$ 1,1 Miliar untuk Kebutuhan Baterai EV Indonesia sudah mendirikan sebuah holding baterai listrik bernama Indonesia Battery Corporation (IBC) untuk menciptakan sinergi antara BUMN terkait kendaraan listrik. PT Aneka Tambang Tbk (
ANTM) memiliki 25% kepemilikan dalam entitas ini. Di sisi lain, PT Vale Indonesia Tbk (
INCO) terpapar secara tidak langsung melalui salah satu pemegang sahamnya, yaitu holding BUMN pertambangan (MIND ID) yang mengempit 20% saham INCO. “Karena sinergi pada biayanya, IBC diharapkan memiliki produksi biaya baterai yang lebih rendah sebesar 6% dan biaya material yang lebih rendah sebesar 6%,” sambung Andreas. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi