Punya utang, Bumi Hidro Engineering digugat PKPU



JAKARTA. PT Bumi Hidro Engineering Construction (BHEC) dimohonkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh salah satu krediturnya yakni PT Elora. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi ini mengaku memiliki tagihan yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih kepada BHEC sebesar Rp 11,87 miliar. Permohonan PKPU tersebut didaftarkan di Pengadilan Niaga (PN) Jakarta Pusat dengan perkara nomor 50/Pdt-Sus.PKPU/2014/Pn.Niaga.Jkt.Pst pada tanggal 11 September 2014 lalu.

Kuasa hukum PT Elora, Roni Pandiangan mengatakan kliennya adalah perusahaan jasa konstruksi dan telah berpengalaman lebih dari 10 tahun di bidangnya. Karena itu, BHEC menunjuk Elora dalam pengadaan jasa konstruksi pekerjaan pembangunan Penstock PLTM Karai-7 di Kabupaten Simalungun Sumatera Utara pada 6 Juli 2012. Hal itu berdasarkan surat No.011/BHE-GKE/SRT/VII/2012.

"Penunjukkan ini dilanjutkan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan pembangunan Penstock PLTM dengan termohon (BHEC) pada 7 Juli 2012," ujarnya usai sidang di PN Jakarta Pusat, Kamis (25/9).


Roni menjelaskan pekerjaan pemborongan tersebut dengan sistem Fix Lump Sump Price sesuai dengan gambar dan harga satuan yang disepakati dengan nilai pekerjaan keseluruhannya sebesar Rp 27 miliar. Itu belum termasuk pajak pertambahan nilai (PPN) 10% dengan jangka waktu pekerjaan sampai 100%  selama 176 hari. Cara pembayaran dilakukan dengan menyerahkan uang muka sebesar 20% dari nilai pekerjaan dan sisanya sesuai dengan progres bulanan. Pembayaran dilakukan selambat-lambatnya 14 hari setelah dokumen-dokumen kelengkapan penagihan diterima BHEC.

Namun, kata Roni, sejak awal BHEC tidak melaksanakan kewajibannya. BHEC menyerahkan lahan pekerjaan siap bangun kepada Elora. Tapi faktanya, BHEC menyerahkan surat penyerahan lapangan. Dimana kondisi lapangan, tidak siap untuk langsung dikerjakan oleh Elora, karena lahan belum dibebaskan oleh BHEC. Akibatnya Elora harus mengeluarkan ekstra waktu dan biaya sebesar Rp 24,5 juta untuk pembebasan lahan. Selain itu, Elora harus membuang tanah galian yang bukan pekerjaannya dan harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 60,75 juta.

Kemudian pada termin pembayaran uang muka sebesar 20% dari nilai kontrak sebesar Rp 5,40 miliar, Elora telah mengajukan kepada BHEC pada 17 Juli 2012. Namun pembayaran dilakukan dengan mencicil tiga kali dan molor dari jangka waktu tujuh hari. Lalu pada 10 November 2012, Elora mendapatkan progres pekerjaan yang disepakati sebesar 40,078% dengan nilai Rp 8,11 miliar. Atas tagihan tersebut seharusnya dibayar paling lambat 24 November 2012. Tapi pembayaran cuma Rp 1,90 miliar dan sisanya sebesar Rp 6,21 miliar belum dibayar. Kendati begitu, Elora tetap melanjutkan pekerjaan.

Lalu pada 18 Februari 2013, Elora mengajukan progres 64,379% dengan nilai Rp 4,92 miliar. Namun tagihan tersebut tidak dibayar sama sekali. Dari hitungan Elora, sisa tagihan yang tekah jatuh tempo kepada BHEC sebesar Rp 11,87 miliar. Hitungan itu termasuk tagihan progres 84% atau sebesar Rp 4,24 miliar dimana pengerjaan ini masih sedang berjalan.

Untuk memenuhi syarat PKPU soal ada dua atau lebih kreditur, Roni menyertakan PT Dewata Bulugading Perkasa yang memiliki tagihan sebesar Rp 13 miliar dan PT Bank Muamalat Indonesia Tbk, yang nilai tagihannya disampaikan kemudian dalam pembuktian. Dengan ini, BHEC terbukti mempunyai lebih dari satu kreditur. Roni juga mengusulkan nama Ferry Gustaf Panggabean dan John Herman Pigalao sebagai pengurus PKPU.

Kuasa Hukum BHEC Leonardus Agatha membantah kliennya memiliki utang yang sudah jatuh tempo kepada Elora. Ia bilang keduanya sudah sepakat menangguhkan pembayaran tersebut. "Tapi kami kaget tiba-tiba malah di PKPU," ujarnya usai sidang. Sengketa ini sudah akan memasuki putusan pada Senin (29/9) mendatang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto