KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Valuasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dinilai cukup atraktif jika dibandingkan dengan bursa saham di kawasan. Potensi penurunan suku bunga oleh Federal Reserve (The Fed) semakin meningkatkan daya tarik pasar modal negara berkembang, termasuk Indonesia, di mata investor asing. Berdasarkan data yang dirilis oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis, 8 Agustus 2024, indikator Price Earning Ratio (PER) IHSG tercatat sebesar 12,07 kali, sedangkan indikator valuasi Price Book Value (PBV) mencapai 2,16 kali.
Martha Christina, Kepala Informasi Investasi Mirae Asset Sekuritas, menyatakan bahwa IHSG memang menawarkan nilai menarik dibandingkan dengan bursa regional, terutama dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melampaui 5%. "Dengan pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan, penduduk Indonesia yang didominasi usia produktif, pasar saham dalam negeri masih menjanjikan," kata dia kepada Kontan, Kamis (8/8). Baca Juga: Volatilitas Pasar Tinggi, Saham Berfundamental Kuat Bisa Jadi Pilihan Investor Menurut riset dari Mandiri Sekuritas, PE IHSG diproyeksikan mencapai 13,4 kali pada tahun 2024 dengan potensi pertumbuhan Earning Per Share (EPS) sebesar 15,5%. Sementara itu, PE indeks IDX30 diperkirakan mencapai 12,5 kali hingga akhir tahun ini. Jika dibandingkan dengan bursa di kawasan Asia Pasifik, indeks China CSI 300 diperkirakan mencapai 11,8 kali pada tahun 2024, namun potensi pertumbuhan EPS indeks China ini hanya sebesar 5,1%. Dalam hal ini, IHSG masih menunjukkan valuasi yang lebih rendah. Bahkan dibandingkan dengan indeks Jepang Nikkei 225 yang diproyeksikan memiliki valuasi PE sebesar 17,1 kali dengan potensi pertumbuhan EPS mencapai 42,9% di tahun 2024, IHSG masih terbilang murah. Sebaliknya, valuasi IHSG masih lebih tinggi dibandingkan Hang Seng yang memiliki PE sebesar 8,2 kali dan KOSPI Korea sebesar 9,4 kali. Di kawasan ASEAN, valuasi IHSG juga masih lebih tinggi dibandingkan Singapura STI yang diperkirakan mencapai 10,7 kali pada tahun 2024. Adrian Joezer, Kepala Riset Ekuitas Mandiri Sekuritas, menjelaskan bahwa saat ini investor tidak hanya memperhatikan pertumbuhan tetapi juga valuasi di setiap bursa. Jika dibandingkan dengan pasar modal Amerika Serikat (AS), dengan valuasi sebesar 21,6 kali dan potensi pertumbuhan ekonomi yang melambat, ruang bagi investor untuk memperoleh imbal hasil tinggi menjadi semakin terbatas. "Banyak sekali bursa saham di ASEAN yang mungkin valuasinya setengah dari valuasi AS. Dengan penurunan EPS AS terbuka ruang yang lebih positif untuk emerging market," kata Joezer.