PURBAYA: Kebijakan moneter BI tak konsisten



JAKARTA. Kebijakan Bank Indonesia (BI) menaikkan batasan Giro Wajib Minimum (GWM) primer dari 5% menjadi 8% dan membanderol GWM berdasarkan loan to deposit ratio (LDR) masih menimbulkan kontroversi di publik. Kepala Riset Danareksa Institute Purbaya Yudhi Sadewa menilai kebijakan BI tersebut tidak jelas."Kalau untuk menyedot ekses likuiditas mengapa tidak mengurangi outstanding dana bank di Sertifikat BI (SBI) saja? Mestinya BI tidak terus-terusan memanjakan bank dengan membiarkan mereka parkir dana idle di SBI dan diberi bunga tinggi," ujarnya dalam obrolan dengan KONTAN, Senin pagi (20/09).Purbaya menuturkan, kebijakan menaikkan GWM Primer memberikan sinyal pada pasar bahwa BI ingin mengurangi kelonggaran likuiditas di sistem. Namun, di saat yang sama, dia mengatakan BI tidak menambah suplai uang dengan tetap menyerap likuiditas dalam jumlah besar di setiap lelang SBI. "Kebijakan moneternya tidak konsisten, ini terjadi sejak tahun 2008 di mana bunga acuan diturunkan (sinyal pelonggaran moneter) namun suplai uang tidak ditambah dengan menyerap likuiditas banyak sekali lewat SBI," papar Purbaya.Dia menambahkan, BI tidak perlu kuatir membiarkan likuiditas sedikit melonggar. Sebab, dia mengatakan, BI tinggal memperketat pengawasan. "BI punya kekuatan dan kekuasaan lebih dari cukup untuk menerapkan kebijakan yang jelas dan tegas," katanya.

Purbaya menilai, dana perbankan yang diparkir di SBI sebesar Rp 350 triliun yang diklaim BI sebagai ekses likuiditas kurang tepat."Kalau ditempatkan di SBI itu kan artinya masuk di sistem, tidak bisa itu dikatakan sebagai ekses," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Edy Can