Perkembangan layanan pinjam meminjam berbasis teknologi atau peer to peer (P2P) lending di Indonesia mengalami kemajuan yang pesat. Berdasar data yang dilansir Otoritas Jasa Keuangan (OJK), transaksi teknologi finansial (tekfin) saat ini telah menembus 9 juta transaksi dan menyalurkan kredit sebesar Rp 25 triliun. Transaksi yang besar dan menunjukkan kemajuan yang signifikan. Adapun platform tekfin saat ini terdapat tiga skema, yakni kredit berbasis dalam jaringan (daring) atau online untuk kalangan terbatas, kredit terbuka namun untuk kalangan terbatas dengan agunan, dan kredit cepat tanpa jaminan. Khusus skema ketiga, yaitu kredit cepat tanpa agunan, belakangan banyak mendapatkan sorotan dari publik. Ada sejumlah persoalan dalam skema ketiga ini. Diantaranya, perusahaan pemberi kredit adalah perusahaan ilegal alias belum mendapat izin dari OJK, bunga yang tinggi, penyedotan data pribadi debitur, serta teror oleh pihak perusahaan melalui debt collector terhadap peminjam yang telat membayar utang.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat, hingga November tahun lalu mereka menerima 1.330 aduan dari warga terkait persoalan di pinjaman online. Sementara Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menerima 200 aduan serupa. Ribuan aduan masyarakat itu menjadi sinyal seriusnya persoalan yang terjadi di sektor pinjam meminjam melalui jalur online tersebut. OJK tentu tak tinggal diam. Melalui Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi, OJK telah menindak 227 perusahaan pinjaman online dengan menutup situs perusahaan yang tak pernah mendaftar di OJK. Namun, tindakan represif OJK terhadap perusahaan tekfin ini tak ubahnya seperti pemadam kebakaran. Setelah banyak korban berjatuhan, OJK baru bergerak. OJK semestinya tak sekadar menunggu persoalan di industri tekfin ini di sisi hilir. Namun semestinya, OJK melakukan langkah konkret di sisi hulu. Pengawasan preventif merupakan jalan yang lebih tepat dilakukan OJK dengan memastikan seluruh perusahaan tekfin sesuai peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan OJK sebagai regulator. Langkah OJK dalam merespons persoalan yang terjadi di perusahaan tekfin tersebut harus dikoreksi. Perlindungan terhadap warga negara yang merupakan amanat konstitusi harus diejawantahkan dalam bentuk konkret. Caranya, dengan menyiapkan perangkat hukum yang kukuh, memastikan setiap warga negara terlindungi. Preventif dan represif Ketersediaan regulasi tentang tekfin seperti Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Informasi Teknologi serta Peraturan OJK Nomor 13 Tahun 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan, tak lain merupakan perangkat hukum yang mengatur mulai sisi hulu hingga hilir. POJK 13/2008 dengan keberadaan Regulatory Sandbox merupakan upaya preventif negara terhadap produk keuangan yang berbasis teknologi informasi, untuk menilai keandalan proses bisnis, model bisnis, instrumen keuangan, dan tata kelola penyelenggara. Begitu juga dengan POJK 77/2016, proses pengajuan perizinan juga dilakukan melalui instrumen yang diatur dalam aturan ini. Peraturan itu juga mendesain sedemikian rupa soal perusahaan pinjaman online yang kuat untuk meminimalisasi risiko kredit. Aturan ini didesain sedemikian rupa untuk memastikan perusahaan tekfin sehat dalam operasional dan tidak merugikan konsumen. Hanya saja, masih ada lubang atas dua regulasi yang menjadi pijakan dalam industri tekfin tersebut. Setidaknya, hingga saat ini masih cukup mudah menemukan perusahaan tekfin yang belum mengantongi izin dari OJK, namun beroperasi di lapangan. Padahal, per Desember 2018 lalu OJK baru memberi izin terhadap 78 perusahaan tekfin. Masalah krusial lainnya, soal besaran bunga yang cukup tinggi. Dalam satu kasus, bunga yang harus disetor debitur hingga 50% dari total pinjaman hingga masa pelunasan berakhir. Satgas Waspada Investasi OJK mestinya bisa lebih maju dalam melakukan pengawasan di lapangan. Patroli siber melalui sejumlah platform penyedia aplikasi tekfin di telepon seluler atau Android dapat menjadi salah satu prioritas kerja. Konkretnya, hulu dari persoalan tekfin adalah keberadaan aplikasi yang tersedia secara luas di platform penyedia aplikasi tersebut. Nah, Satgas Waspada Investasi OJK bisa melakukan verifikasi terhadap setiap aplikasi yang tersedia di platform penyedia aplikasi tersebut. Misalnya, paling mendasar, apakah perusahaan yang memiliki layanan aplikasi digital tersebut memiliki izin dari OJK? Verifikasi ini menjadi pintu masuk untuk mengetahui apakah keberadaan perusahaan teknologi finansial tersebut legal atau ilegal. Bila secara terang perusahaan yang memiliki layanan digital tersebut belum memiliki izin dari OJK alias ilegal, maka tak ada langkah lain selain menggunakan cara represif dengan menutup layanan aplikasi tersebut. Dalam konteks ini, koordinasi OJK dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memiliki relevansinya. Tindakan pemerintah ini, dalam konteks hukum administrasi negara tersebut, menjadi bagian dari kewenangan paksaan pemerintah (bestuurdwang) untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Ini merupakan kewenangan bebas yang dimiliki pemerintah sebagai penyelenggara administrasi yang tetap mengacu pada asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Cara lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk memastikan perusahaan penyedia aplikasi tekfin, perusahaan yang hendak membangun aplikasi digital harus dipastikan mengantongi izin dari OJK alias legal. Kementerian Kominfo semestinya bisa membuat sistem preventif dengan menolak proses pemasangan aplikasi di layanan digital bila tidak memenuhi syarat formal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini, perusahaan penyedia tekfin diharuskan menyertakan dokumen legalitas perusahaan dari OJK sebelum memasang aplikasi di platform digital. Sistem ini bisa juga diterapkan di berbagai bidang, termasuk soal aplikasi yang terindikasi menyebarkan pornografi dapat ditolak oleh sistem karena memang melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Intinya, pemerintah dituntut membuat sistem sedemikian rupa untuk menyetop pelanggaran khususnya di industri tekfin sejak di hulu. Keberadaan tekfin harus dikembalikan pada jati dirinya sebagai konsekuensi dari keberadaan digital.•
R. Ferdian Andi R. Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara, Jakarta Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi