Pusat berburu buah tangan sepulang berhaji (1)



SURABAYA. Jika warga Jakarta mengenal Tanah Abang sebagai sentra oleh-oleh haji, maka Surabaya juga punya tempat serupa, yakni Gang Pasar Bong. Lokasinya di kawasan Pecinan, Jalan Slompretan. Anda hanya perlu berkendara sekitar 15 menit dari Stasiun Kota Surabaya untuk mencapai jalan tersebut. Namun, lantaran Gang Pasar Bong sempit dan tidak bisa dilewati mobil, maka pengunjung harus berjalan kaki menuju lokasi sentra, dan memarkir kendaraan di pinggir Jalan Slompretan.Di sana berjejer sekitar 26 ruko dua lantai yang menjadi tempat pada pedagang berjualan aneka kebutuhan ibadah, seperti busana muslim, tasbih, sarung, mukena dan sajadah. Para pedagang membuka kios saban hari, mulai pukul 9 pagi hingga pukul 5 sore.  Seperti halnya pusat oleh-oleh haji di daerah lain, pengunjung di Pasar Bong juga paling ramai jelang Lebaran Haji. Saat musim tersebut, selain para pedagang yang biasa membeli dagangan untuk dijual lagi, sentra ini juga disambangi para jamaah haji. Mereka berburu oleh-oleh, lantaran tidak bisa membawa oleh-oleh dalam jumlah banyak dari Tanah Suci.Abdul Cholik, salah satu pedagang di Pasar Bong menjadi saksi perkembangan sentra itu. Ia lahir dan besar di kawasan itu. Pemilik Toko Azzahra ini bercerita, awalnya, ada dua orang Tionghoa yang membuka toko busana muslim di Pasar Bong pada 1980-an. Keduanya merupakan warga yang berdiam di lokasi itu juga. Jejaknya pun diikuti  sejumlah tetangga. Hingga, pada 2004, jumlah pedagang semakin ramai. Umumnya, warga asli di sana menyulap rumah mereka menjadi bentuk ruko dua lantai. Di ruko itu, mereka tinggal sekaligus berdagang.Berbeda dengan Husen Mustofa. Pemilik Toko Mekah Madinah ini bukan asli warga setempat. Sebelumnya, ia berdagang di Pasar Turi. Tapi, karena Pasar Turi kebakaran pada 2007, ia pindah ke Pasar Bong dengan mengontrak sebuah ruko bertarif sewa Rp 10 juta per bulan.Baik Cholik maupun Husen sama-sama menjual aneka perlengkapan muslim. Gang Pasar Bong disebut sebagai sentra oleh-oleh haji, lantaran para pedagang hanya menjual sistem grosir. Makanya, produk yang dijual cocok untuk dijadikan oleh-oleh atau dijual kembali.

Kata Cholik, minimal pembelian satu lusin atau satu kodi. Harganya bervariasi. Misal, satu lusin tasbih dibanderol Rp 10.000. Namun, ada satu atau dua pedagang yang mau menjual eceran.Perputaran uang di gang ini cukup besar. Husen mengaku, dalam sehari paling tidak mendapat omzet Rp 25 juta. Artinya, dalam sebulan ia bisa mencetak omzet hingga Rp 750 juta. Sementara, Cholik bilang, penghasilannya sebulan mencapai Rp 200 juta. "Kalau sedang ramai bisa sampai Rp 500 juta," ungkapnya. Maka, tak bisa dipungkiri, sentra ini mengubah kehidupan ekonomi warga.  (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Dupla Kartini