JAKARTA. Pimpinan Setara Insitute, Hendardi menilai keputusan komite etik justru melemahkan KPK. Menurutnya, putusan tersebut, terutama terhadap Chandra M Hamzah, mengalami pembiasan proses pemberantasan korupsi. “Saya tetap hormat kepada anggota komite etik, seperti Ahmad Syafii Maarif, Mardjono Reksodiputro, Nono Anwar Makarim. Tapi menurut saya ini bukan soal sekadar ada bukti serah terima uang atau tidak, soal itu memang harus dibuktikan secara pidana. Yang jelas adanya pertemuan itu membuka ruang kemungkinan terjadinya kesepakatan-kesepakatan tertentu,” ujarnya (6/10). Ia menilai saat ini komite etik bekerja di bawah bayang-bayang hantu kriminalisasi KPK. Padahal, hantu itu tidak jelas wujudnya. Dengan demikian putusan komite etik agak bernada melindungi KPK. Putusan komite etik pun terdengar tidak lebih dari nasihat kepada seorang kawan yang sedang terkena musibah. Yang berbahaya adalah, seperti dipaparkan Hendardi, “Bila satu saat ada pimpinan KPK ngopi di tempat Aburizal Bakrie atau Hatta Rajasa, bagaimana? Mau dianggap sah-sah saja?” katanya. Ia mengingatkan bila komite etik pada mulanya dibentuk untuk memulihkan kepercayaan publik pada KPK. Tetapi, yang terjadi justru"‘menyelamatkan" orang per orang atas nama kolektivistis. Hendardi meminta agar di masa depan tidak lagi terjadi personifikasi institusi terhadap personal. Maksudnya seseorang yang memimpin sebuah lembaga bisa saja melakukan kesalahan, tapi yang dihukum adalah orangnya, dan bukan institusinya. Dan lagi yang perlu dilindungi adalah lembaga, dan bukan orang per orang.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Putusan komite etik justru melemahkan KPK
JAKARTA. Pimpinan Setara Insitute, Hendardi menilai keputusan komite etik justru melemahkan KPK. Menurutnya, putusan tersebut, terutama terhadap Chandra M Hamzah, mengalami pembiasan proses pemberantasan korupsi. “Saya tetap hormat kepada anggota komite etik, seperti Ahmad Syafii Maarif, Mardjono Reksodiputro, Nono Anwar Makarim. Tapi menurut saya ini bukan soal sekadar ada bukti serah terima uang atau tidak, soal itu memang harus dibuktikan secara pidana. Yang jelas adanya pertemuan itu membuka ruang kemungkinan terjadinya kesepakatan-kesepakatan tertentu,” ujarnya (6/10). Ia menilai saat ini komite etik bekerja di bawah bayang-bayang hantu kriminalisasi KPK. Padahal, hantu itu tidak jelas wujudnya. Dengan demikian putusan komite etik agak bernada melindungi KPK. Putusan komite etik pun terdengar tidak lebih dari nasihat kepada seorang kawan yang sedang terkena musibah. Yang berbahaya adalah, seperti dipaparkan Hendardi, “Bila satu saat ada pimpinan KPK ngopi di tempat Aburizal Bakrie atau Hatta Rajasa, bagaimana? Mau dianggap sah-sah saja?” katanya. Ia mengingatkan bila komite etik pada mulanya dibentuk untuk memulihkan kepercayaan publik pada KPK. Tetapi, yang terjadi justru"‘menyelamatkan" orang per orang atas nama kolektivistis. Hendardi meminta agar di masa depan tidak lagi terjadi personifikasi institusi terhadap personal. Maksudnya seseorang yang memimpin sebuah lembaga bisa saja melakukan kesalahan, tapi yang dihukum adalah orangnya, dan bukan institusinya. Dan lagi yang perlu dilindungi adalah lembaga, dan bukan orang per orang.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News