Putusan MK tak ganggu industri air minum



JAKARTA. Beberapa waktu lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan isi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA). Seluruh isi yang terdapat dalam perundang-undangan tersebut dibatalkan, sehingga berpotensi mengganggu bisnis air minum dalam kemasan, khususnya yang dikelola oleh pihak asing.

Merespon hal ini, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menjamin keamanan dan kenyamanan investasi yang masuk ke dalam industri ini. "Investor (industri air minum), kan, enggak salah, jangan sampai mereka terkena impact yang paling besar," imbuh Kepala BKPM Franky Sibarani, (2/3).

Karena menurutnya, dengan dibatalkannya undang-undang tersebut maka secara tidak langsung menghidupkan kembali UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Nah, di kondisi seperti inilah terdapat adanya kevakuman hukum, khususnya untuk perizinan pengelolaan sumber daya air.


Kosongnya kepastian payung hukum tersebut bakal menghambat operasional bisnis perusahaan air minum (swasta) lantaran ada beberapa perusahaan yang izin pengelolaan sumber daya airnya hampir habis masa berlakunya.

"Jadi, kami sepakat untuk melindungi investasi dan terus berkoordinasi dengan pihak pemerintah," ujar Franky.

Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia Hendro Baruno kepada KONTAN bilang, pihaknya bakal menghormati segala keputusan yang diambil pemerintah. "Tapi, kami meminta supaya pemerintah juga segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) terkait putusan MK ini," imbuhnya.

Senada dengan Franky, Hendro menilai dengan adanya putusan MK itu membuat tidak jelasnya payung hukum bagi industri air minum dalam kemasan. Hal ini tentunya bakal menghambat kegiatan bisnis perusahaan pengelola air minum swasta.

Dia menjelaskan, selama ini perusahaan air minum swasta memang hanya meminta izin pengelolaan sumber daya air dari pemerintah daerah setempat. Kebetulan, banyak juga izin pengelolaan yang sudah hampir habis masa berlakunya.

"Tapi, karena adanya putusan MK ini, bupati daerah setempat tidak berani mengeluarkan izin karena tidak ada PP -nya. Makanya, PP yang mengatur hal ini harus segera diterbitkan," jelas Hendro.

Karena jika tidak, kondisi ini akan menghambat kegiatan bisnis, bukan hanya bisnis air minum tapi juga bisnis kain yang membutuhkan air, seperti industri tekstil misalnya. Pasalnya, kegiatan bisnis air minum memang memiliki rangkaian efek berantai yang panjang hingga ke sejumlah sektor.

Dengan adanya putusan tersebut, berarti MK menghidupkan kembali UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan untuk mencegah kekosongan hukum hingga adanya pembentukan undang-undang baru.

"Sebenarnya, bisnis air minum ini sudah berjalan jauh sebelum Undang-Undang '74 itu ada. Lalu, rentang antara tahun '74 hingga 2004 itu jauh, dan selama jangka waktu itu sebenarnya bisnis pengelolaan air minum juga bisa berjalan dengan baik, tidak menemukan kendala berarti. Makanya, saat ini yang paling penting adalah diterbitkannya PP," tutur Hendro.

Direktur PT Tirta Investama Troy Pantouw kepada KONTAN menjelaskan, pihaknya paham jika pemerintah telah memiliki pertimbangan dan implikasi tertentu dalam setiap pengambilan keputusan. Hanya saja, pihaknya berharap, keputusan tersebut jangan sampai mematikan industri, dalam hal ini industri air minum kemasan.

"Jangan sampai mematikan, tapi seharusnya justru membuat persaingan di industri ini menjadi lebih sehat," ujar Troy.

Sebab, industri pengelolaan air minum selama ini sudah menjadi salah satu penggerak ekonomi nasional. Jumlah perusahaannya pun mencapai ratusan, dan tidak sedikit multiplier effect, khususnya dari sisi ekonomi, yang bisa diberikan dari kegiatan bisnis air minum.

Aqua sendiri mengklaim, multiplier effect hingga 3-4 kali, mulai dari keluarga hingga ke tingkat distributor hingga kontribusi terhadap pendapatan daerah dalam kegiatan bisnisnya yang telah dijalani selama 40 tahun. Bisnis dan multiplier effect tersebut bisa saja terganggu atau bahkan terhenti akibat putusan MK.

Sebab, implikasi pertama dari pembatalan undang-undang itu , pihak swasta tidak boleh menguasai sumber air atau sumber daya air sepenuhnya. Pihak swasta hanya diizinkan untuk melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja, itu pun sesuai dengan batasan diberikan oleh negara secara ketat.

Dengan kata lain, soal pengelolaan air atau sumber daya air harus diserahkan kepada BUMN atau BUMD. Sementara, bisnis yang dijalani Aqua selama ini murni dijalankan sendiri oleh perusahaan berbasis di Prancis tersebut.

"Seperti layaknya bisnis normal, dijalankan sesuai dengan peraturan, bayar pajak selayaknya menjalankan bisnis, distribusi pendapatan daerah. Kalau bagi hasil dengan pihak lain tidak ada," jelas Troy.

Dia menambahkan, masih terlalu dini untuk mengungkapkan secara spesifik dampak apa yang ditimbulkan atas putusan tersebut. Saat ini, Aqua tengah mengkaji secara internal hal apa saja yang terjadi terkait dengan putusan tersebut.

Setelah ini, perseroan akan mengkomunikasikannya kepada Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), lalu berkoordinasi dengan pihak terkait dari pemerintah terkait putusan ini.

"Intinya, kami taat hukum. Tapi jangan sampai putusan itu menghentikan bisnis karena kami telah memberikan multiplier effect yang besar, melainkan memberikan efek positif berupa persaingan industri air minum yang lebih sehat," tutur Troy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto