KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengambil keputusan terhadap uji materi perkara Nomor 41/PUU-XVI/2018 tentang ojek online. MK lewat putusannya, menolak melegalkan ojek online sebagai alat transportasi umum. Hal ini di tanggapi oleh Peneliti Lab. Transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, Sepeda motor dapat mengangkut orang, namun bukan sebagai angkutan umum. Menurutnya, Dalam kondisi transisi seperti sekarang, ojek masih dapat beroperasi dalam wilayah yang terbatas. “Bukan harus beroperasi hingga di jalan-jalan utama dalam kota, seperti yang terjadi sekarang di banyak kota di Indonesia,” katanya kepada Kontan.co.id, Jumat (29/6).
Dia melanjutkan, selain itu pengemudi ojek online bukan profesi menjanjikan, hanya untuk sementara dan jangan berlanjut lama. Di sisi lain, iming-iming poin telah membuat pengemudi ojek online bekerja tidak mengenal waktu atau rata-rata lebih dari 8 jam sehari dan tidak ada waktu libur. Menurutnya, hal tersebut akan berdampak pada kesehatan pengemudi. Jika sakit dan mendapat bantuan BPJS, negara juga yang merugi. “Jadi sebenarnya usaha ojek sepeda motor mengangkut orang harus segera dihentikan dan dialihkan pada bisnis angkutan umum yang lebih layak. Negara harus hadir melindungi mereka, bukan membiarkan menjadi bahan bulan-bulanan aplikator perusahaan online seolah memberi lapangan pekerjaan dan mengatasi pengangguran,” tambahnya. Seperti contoh, meski Bangkok adalah kota yang dapat mengatur keberadaan ojek. Ojek dibolehkan beroperasi di jalan kolektor atau penghubung, ada seragam berwarna oranye, terdaftar dan diawasi pengoperasiannya. Lalu Di Beijing, Shanghai dan kota-kota besar di Tiongkok juga terdapat ojek sepeda motor, tetapi tidak selaris di Indonesia. Inilah yang menjadi tantangan para kepala daerah untuk segera bangkit membangun transportasi umum di daerah masing-masing yang kian terpuruk. “Jangan terlalu lama membiarkan bisnis ojek online angkut orang. Orang bepergian harus dilindungi dengan layanan transportasi umum yang humanis,” kata dia. Sekadar informasi, seperti dikutip dari
Kompas.com, gugatan uji materi ke MK ini diajukan 54 pengemudi ojek online yang menggugat Pasal 47 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Para pengemudi ojek online keberatan karena ketentuan pasal tersebut tidak mengatur motor sebagai angkutan umum. Sementara, ojek online semakin dibutuhkan dan berkembang di Indonesia. Hakim MK dalam putusannya menolak permohonan seluruhnya, dan menolak melegalkan ojek online sebagai alat transportasi umum. Transportasi humanis Djoko menambahkan, sebenarnya, pilihan bajaj untuk angkutan umum lingkungan lebih tepat. Bajaj memiliki kapasitas lebih besar, serta terlindungi dari terik matahari dan air hujan. Djoko menyarankan, Untuk sementara waktu penyelenggaraan ojek online dapat diatur oleh pemda baik wilayah operasi maupun jam operasinya. Ciptakanlah layanan transportasi umum yang terintegrasi dan menggapai setiap kawasan permukiman dan perumahan. “Kepala daerah harus mulai memikirkan ini bukan sekadar janji saat kampanye, tetapi segera diwujudkan,” jelasnya.
Di sisi lain Direktur Eksekutif Prakarsa Ah Maftuchan mengatakan, Putusan MK merupakan Putusan yang menguji terhadap UUD. Artinya UU no 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkatan jalan tidak bertentangan dengan UU 1945 Idealnya, agenda ke depan adalah Revisi UU 22/2009 yang memuat klausul pengaturan terhadap ojek online maupun pangkalan dan juga taksi online dalam rangka sistem transportasi publik di Indonesia. “Ojek online atau pangkalan bukan merupakan angkutan orang, dan sepeda motor tidak masuk klasifikasi kendaraan bermotor yang dapat di gunakan sebagai angkutan orang,” kata dia kepada kontan.co.id. Artinya ojek pangkalan atau online tidak memiliki cantolan hukum. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia