Raden Priyono: Rasanya seperti dipenggal



JAKARTA. Kemarin, Rabu (13/11) tepat satu tahun Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas dibubarkan lewat putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Hari itu, 13 November 2013, tepat pukul 11.00 WIB, MK melalui amar putusan No.36/PPU-X/20-12 membatalkan beberapa pasal pada UU Migas Nomor 22 Tahun 2001.

Meski tidak tegas menyatakan bahwa BP Migas harus dibubarkan, tetapi putusan itu dikonotasikan dan ditafsirkan oleh Ketua MK kala itu bahwa BP Migas dibubarkan.

Mengenang peristiwa satu tahun silam, Raden Priyono, Kepala BP Migas kala itu, mengundang KONTAN dan dua Wartawan lain untuk menghadiri acara reuni bersama mantan staf ahli BP Migas di sebuah restoran di Jakarta. Berikut ini petikan wawancara dengan alumnus Institute Teknologi Bandung angkatan 1976 ini.


KONTAN: Apa yang Anda rasakan ketika BP Migas dibubarkan, siapa yang berkonspirasi?

PRIYONO: Konspirasi menunjuk hidung tidak bijaksana, tetapi dari kelompok yang mengajukan kami tahu mereka bukan orang yang mengenal industri migas. Kemudian tuduhannya itu, seperti orang yang tidak mengenal sejarah industri migas. Seperti tuduhan, bahwa kami memihak asing. Padahal kami menerima kontrak,  semua diawasi, diawasi saja, seperti Pertamina, Exxon. Itu fungsi kami.

Setelah wilayah kerja ditentukan dari Dirjen Migas banyak sekali yang harus di awasi. Siapa saja yang menang tender, BP Migas tidak punya kewenangan menentukan apakah harus nasional atau asing. Tugas kami hanya mengawasi.

Kedua, kita merugikan negara. Saya tidak mengerti, biaya operasi kita jauh lebih kecil dari pada institusi asal-usul BP Migas yang adanya di Pertamina, Biro Persatuan Kontraktor Asing, kita jauh lebih kecil. Padahal yang diawasi jauh lebih banyak, hampir dua kali lipat.

Ketiga, korupsi BP migas tidak pakai uang negara, tidak masuk APBN, korupsi dari mana? Itu uangnya perusahaan migas. Kita memang dialokasikan anggaran, kalau bermain di alokasi biaya, itu penyelesaiannya bukan seperti itu.

Kalau salah atau korupsi silahkan tangkap seperti Rudi Rubiandini, bukan badannya yang dibubarkan. Pendekatan bukan seperti itu, kalau ada salah ya insitusinya diperbaiki. Pihak yang membubarkan tidak tahu konsekuensinya apa bagi perekonomian negara.

KONTAN: Apakah Anda tidak memikirkan waktu itu konsekuensi dari Judicial Review di MK akan berujung pada pembubaran BP Migas?

PRIYONO: Tidak sejauh itu, karena UU Migas sudah pernah diajukan ke MK. Saya mendengar ada aturan main mengatakan bahwa tidak boleh satu undang-undang diajukan dua kali. Saya kelihatannya under estimate.

Selain itu saya sebagai Kepala BP Migas juga tidak pernah dipanggil. Jadi keputusannya, saya kira tidak akan drastis. Tetapi ternyata dipenggal. Kalau mau dipenggal harusnya yang mau dipenggal dipanggil. Putusan hebat begini, Kepala BP Migas harusnya dipanggil untuk bertanggung jawab.

KONTAN: Tapi apa Anda tidak bisa membaca situasi waktu itu?

PRIYONO: Satu tahun sebelum itu sebenarnya saya sudah tahu. Teman-teman media juga tahu, ada seseorang yang membayar Rp 15 miliar kepada beberapa media untuk bagaimana menjatuhkan dan mendiskreditkan Priyono. Itu sudah rahasia umum. Sampai mereka gak ketemu caranya apa yang bisa mendiskreditkan Priyono.

Saya sendiri sudah bertanya kepada ahli hukum bahkan sampai konsekuensi terburuk yaitu pembubaran. Tetapikan tidak ada recordnya MK membubarkan satu insitusi. Kalau dibubarkan harusnya diberi tenggang waktu 1-3 bulan. MK tidak boleh membubarkan, hanya bisa menyatakan ini tidak sesuai undang-undang dasar, dan pemerintah yang memutuskan. Inikan dia langsung eksekusi. Ketua MK waktu itu mengatakan, jangan biarkan Priyono seminggu saja, sehari saja bahkan dia bisa bangun lagi. Ini kok jadi personal?"

KONTAN: Dengan kasus tertangkapnya Pak Akil Mochtar bagaimana bapak melihat keputusan MK terkait BP Migas dulu?

PRIYONO: Ternyata lembaga MK itu tidak kebal terhadap bayar membayar, sayang sekali kalau BP Migas dibubarkan karena ada yang bayar.

KONTAN: Bagaimana Anda melihat posisi SKK Migas saat ini pasca pembubaran BP Migas?

PRIYONO: Sementara keputusan MK ini menggantung. Ini merupakan konsekuensi putusan yang tiba-tiba, tanpa ada jeda, jadi trail and eror. Dibikin satu institusi yang tetap salah lagi. Apalagi  di DPR mereka fokus bukan untuk membikin undang-undang, mereka mengamankan Pilpres dan Pileg, mereka sibuk di daerah. Kasihan juga.

Semua orang berkonsentrasi pada pemilu dan bukan membuat UU Migas. Akibatnya SKK Migas saat ini hanya bisa bekerja separuh hati, ragu-ragu untuk melaksanakan program baru. Kalau  program rutin jalan semua. Pogram baru kena dampak, ketahuannya ya 5 tahun lagi.

KONTAN: Apakah dampak dari posisi SKK Migas dibawah kementerian?

PRIYONO: Pemerintah berhadapan langsung dengan pengusaha asing, nanti kalau ada satu keputusan yang lama, kemudian operasi merugikan, arbitrase didepan mata, negara gak punya bumper lagi. Negara itu yang punya aset. Contohnya kejadiannya seperti Karaha Bodas Company dimana Pertamina yang bermasalah, semua kedutaan kita yang di tutup jadi jaminan. Kalau BP Migas kan tidak diberikan aset, mau disita apanya.

KONTAN: Idealnya bagaimana lembaga pengawas itu?

PRIYONO: Saya susun UU Migas saya anggota tim dari Dirjen Migas kita menyelami falsafahnya kenapa ini harus independen dan kenapa harus bertangunggjawab kepada Presiden. Oil dan gas strategis gak?  Kalau strategis tidak boleh jadi insitusi yang gampang dipengaruhi dan di intervensi.

Taruh dia independen, dia pilih pimpinan harus lewat DPR , supaya DPR bisa intervensi kalau ada apa-apa. Dia tidak boleh dibawah Kementerian, karena kalau dibawah kementerian, level Dirjen bisa masuk, bisa intervensi. Tetapi kalau dia dibawah Presiden, Menteri gak bisa sembarangan intervensi.

Kasusnya seperti jaman Pak Darwin Zahedy Saleh (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 2009-2011). Pak Darwin mau bikin Surat Keputusan. Saya bilang Pak gak bisa, ada Peraturan Pemerintah yang membuat SK Bapak tidak bisa jalan karena PP-nya mengatakan lain. Kita ikut bagaimana perintah Presiden. Bapak tidak bisa dengan SK Menteri menganulir peraturan pemerintah.

Kelihatan strategisnya saling mengimbangi, saya angkat orang harus dengan persetujuan dia. Dia angkat orang saya harus tahu. Jadi antara kepentingan profesional dan politik harus seimbang, tidak boleh di politik semua, karena ini benar-benar untuk rakyat. Kita jadi mandor.

KONTAN: Paling ideal reposisi SKK Migas dalam revisi UU Migas?

PRIYONO: Opsi dikembalikan seperti BP Migas. Dia sebagai pengawas pengendali atau mau berbisnis, BP migas tidak di desain berbisnis tetapi mengerti bisnis. Dia cuma mengawasi pengeluaran tidak terlalu besar dan pemerintah harus mendapat lebih banyak.

Misalnya pengadaan referensi semangatnya ke Keppres terjadi supaya terjadi kompetisi dan adanya  lokal konten lebih besar. Tetapi BP Migas tidak bisa pakai Keppres karena  uangnya  uang asing bukan uang negara.

KONTAN: Bagaimana jika SKK Migas menjadi pihak yang berkontrak dijadikan entitas bisnis?

PRIYONO: BP Migas tidak melakukan deal bisnis, dia juga  memiliki kewenangan tanda tangan untuk sebuah keptusan. Karena itu dia cukup disebut badan hukum milik negara. Dia boleh tandatangan, tetapi tidak boleh memikirkan profit untuk BP Migas, tapi dia harus pikirkan  profit untuk negara. Karena itu, POD pertama ke Menteri juga supaya Menteri tahu negara dapat berapa.

Dalam proses pelaksanaannya, BP migas mencari efisiensi. Ini kebanyakan tidak mau bayar saya, seperti kasus BP dan Centra. Itu upaya BP migas supaya kontrak Centra di batalkan, karena rugi jual ke Jepang dan Korea, bedanya luar biasa. Dari keputusan BP Migas bukan kebutuhan bisnis tetapi ada nuansa bisnis. Harusnya Indonesia 2017 dapat bagi hasil, 2013 jadi dapat.

Orang BP Migas macam-macam ada birokrat, ada orang eks KPS, ada orang Pertamina, semua ahli dalam bidangnya. Dulu kami juga melakukan reformasi birokrasi, bahkan sudah mau tinggal landas. Semua sudah rapi, ISO kita dapat  Wajar Tanpa Pengecualian(WTP). Setiap bagian dibatasi penyelesaian surat tidak boleh melebihi beberapa hari. Pelaporan kekayaan dan pajak tinggal whistle blower.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan