KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelemahan kurs rupiah terhadap dollar AS turut mempengaruhi pelaku bisnis manufaktur. Khususnya industri farmasi yang sebagian besar bahan baku produksinya diperoleh dari impor. Vincent Harijanto, Ketua Litbang Perdagangan dan Industri Bahan Baku Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Indonesia mengatakan baik bahan aktif farmasi (active pharmacy ingredients) maupun bahan pendukung kimia masih didapat lewat importasi. "Sekitar 95% kebutuhan bahan baku tersebut dari impor," ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (27/5). Sehingga pembelian bahan baku tersebut akan sangat dipengaruhi oleh nilai kurs. Menurut Vincent bilang, saat ini, pembelian bahan baku melalui importir dalam negeri maupun pabrikan secara langsung sama-sama harus menghadapi kenaikan harga yang cukup tinggi.
Sebagai gambaran saja, kata Vincent, harga bahan baku obat seperti amoxicilin tahun lalu masih berada di level US$ 16 per kilogram. Sementara harga saat ini sudah mencapai US$ 26 - US$ 30 per kilogram. "Lalu paracetamol yang dulunya US$ 3/kg sekarang rata-rata sudah US$ 5/kg," urainya. Selain itu pula, harga bahan baku telah tertekan sejak pemerintah China menerapkan environmental protection terhadap industri kimia dengan standar ketat. Alhasil, pabrikan yang dinilai tak layak beroperasi ditutup paksa. Kondisi itu pula yang menyebabkan pasokan bahan baku obat-obatan menjadi semakin berkurang. Padahal, bahan baku farmasi Indonesia kebanyakan diimpor dari China. Terlepas dari kondisi sulit ini, ada beberapa cara yang dapat ditempuh produsen agar meminimalisir beban biaya produksi. Pertama, menurut Vincent dengan cara menggunakan stok bahan baku yang telah dibeli sebelumnya atau menambah stok dalam jumlah banyak guna mengantisipasi pelemahan rupiah yang sulit diprediksi. "Tentunya perlu modal kerja yang lebih, dimana semula hanya beli keperluan 2 bulan sekarang belinya keperluan untuk 1 tahun," tuturnya. Lalu yang kedua, terbuka pula opsi untuk hedging, meski pilihan ini tentu perlu perhitungan untung-ruginya dengan pihak perbankan. Serta ketiga, dapat saja pelaku usaha menaikkan harga produk untuk obat bebas, obat resep atau barang yang diluar list e-catalogue BPJS. Sebab, kata Vincent, harga dari BPJS sudah dipatok dan sulit mengalami eskalasi. Adapun produsen seperi PT Kimia Farma Tbk (KAEF) mengedepankan strategi pembelian bahan baku secara besar-besaran. "Sudah kami antisipasi sejak tahun lalu, sehingga tahun ini relatif aman," ujar Suharta Wijaya, Direktur Keuangan PT Kimia Farma Tbk. Seperti diketahui, saat membeli bahan baku, KAEF menggunakan kurs rupiah di pasar spot. Tapi, karena KAEF membeli dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu yang lama, untuk pasokan dua tahun sekaligus, posisi KAEF untuk melakukan tawar menawar harga menjadi lebih kuat. Dengan skema pembelian besar-besaran seperti itu, KAEF bisa menekan harga bahan baku antara 50%. Besaran ini tentu lebih dari cukup untuk mengkompensasi pelemahan kurs yang terjadi. Malah, strategi seperti ini dinilai lebih efektif dibandingkan melakukan aktivitas lindung nilai alias hedging yang dinilai membutuhkan biaya yang lebih mahal. Suharta menambahkan, pihaknya akan terus bernegosiasi dengan para pemasok. "Kami minta diskon harga untuk beli di volume tertentu," imbuhnya. Namun, dia belum bersedia merinci berapa diskon yang diinginkan. Yang terang, negosiasi terus dilakukan guna mengamankan posisi tahun depan.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) Vidjongtius mengungkapkan, pelemahan rupiah saat ini menjadikan perusahaan menghitung kembali biaya produksi. Upaya tersebut dilakukan untuk meningkatkan efisiensi perusahaan ke depan. "Kami lakukan perhitungan kembali biaya produksi dan melakukan pengaturan mix produk yang dipasarkan," kata Vidjongtius. Selain itu, perusahaan juga melakukan mitigasi risiko, melalui cash balance. "Mitigasi risiko kami melalui cash balance dalam dollar AS di neraca sekitar US$ 40 juta-US$ 50 juta dan inipolicy cash management sejak dulu," sebutnya. Vidjongtius juga menekankan pihaknya saat ini tidak memiliki utang luar negeri. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sofyan Hidayat