Kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed Fund Rate (FFR) sebesar 25 basis poin (bps) (0,25%) menjadi 1,5–1,75% pada 22 Maret 2018 terus berimbas ke mana-mana. Rupiah tak tidak lepas dari imbas itu. Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo, menyebut persentase depresiasi rupiah Indonesia dari 1–26 April 2018 sebesar 0,88%. Lantas, bagaimana alternatif solusi untuk mengangkat nilai tukar rupiah? Pertama, kenaikan FFR itu merupakan indikator kuat ekonomi AS akan mengalami perbaikan ke depan. Ketika ekonomi AS semakin tinggi, maka kemungkinan kenaikan FFR pada Juni dan Desember 2018 semakin menjadi kenyataan. Namun BI tetap mempertahankan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI 7 DRRR) sebesar 4,25%. Suku bunga deposit facility juga tetap 3,5% dan suku bunga lending facility 5%. Apakah BI 7 DRRR perlu naik misalnya 25 bps menjadi 4,50% pada bulan Mei 2018? Sungguh, BI memiliki fungsi yang sangat strategis dalam mengatur kebijakan moneter. Namun saat ini, posisi bank sentral dalam dilema. Kalau suku bunga acuan tidak segera dinaikkan, maka nilai tukar rupiah dicemaskan akan terus terdepresiasi hingga Rp 14.000 atau lebih per dollar AS. Aduh! Tetapi ketika suku bunga acuan naik, amat dikhawatirkan akan melemahkan momen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang ditarget 5,4% pada 2018.
Menurut hipotesa saya, sejauh suku bunga acuan hanya naik 25 bps menjadi 4,5% momen pertumbuhan ekonomi domestik yang tidak akan terganggu. Dengan demikian, selisih (spread) suku bunga acuan Indonesia dan AS akan tetap stabil dari 2,75% (4,25%–1,5%) tetap 2,75% (4,50%-1,75%). Akibatnya, kenaikan itu akan dapat menahan dana panas supaya tidak terlalu kencang lari pulang kampung ke AS karena investor asing menilai lebih baik memeluk dollar AS. Coba bandingkan dengan suku bunga acuan Vietnam 6,25%, Meksiko 7,5%, Venezuela 21,19% dan Argentina 27,25%. Tegasnya, BI 7 DRRR masih lebih kompetitif daripada suku bunga acuan negara-negara di ASEAN, seperti Singapura 0,59%, Thailand 1,5%, Filipina 3% dan Malaysia 3,25%. Juga dengan negara BRICS: Brasil 6,5%, Rusia 7,5%, India 6%, China 4,35% dan Afrika Selatan 6,75%. Kedua, BI dapat terus mengintervensi pasar sekalipun terpapar potensi risiko penipisan cadangan devisa. Saat ini cadangan devisa mencapai US$ 126 miliar per akhir Maret 2018 yang menurun dari US$ 128,06 miliar per akhir Februari 2018. Dapat diduga cadangan devisa akan semakin menurun pada posisi akhir April 2018 sebagai akibat dari intervensi bank sentral di pasar. Oleh karena itu, pemerintah terus mendorong kenaikan nilai ekspor nasional. Geber sektor penghasil devisa Salah satu upaya yang telah BI lakukan yakni menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 13/20/PBI/2011, tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (DULN). Intinya, penerimaan DHE melalui bank devisa wajib dilakukan paling lambat 90 hari setelah tanggal pemberitahuan ekspor barang (PEB). Aturan itu terus diperbaiki BI dengan PBI Nomor 14/11/PBI/2012, tanggal 28 Agustus 2012, PBI Nomor 14/25/PBI/2012, tanggal 27 Desember 2012, PBI Nomor 16/10/PBI/2014, tanggal 14 Mei 2014 dan PBI Nomor 17/23/PBI/2015, tanggal 2 Januari 2016. Tetapi pada awalnya, aturan itu mendapat tentangan dari berbagai pihak mengingat hal itu dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Padahal aturan itu bertujuan untuk menjamin bahwa devisa hasil ekspor dan devisa utang luar negeri dapat memberikan kontribusi optimal secara nasional, melalui penempatannya di perbankan nasional. Aturan itu juga menjamin bahwa devisa hasil ekspor dan devisa utang luar negeri memiliki manfaat untuk mendukung penciptaan pasar keuangan yang lebih sehat serta upaya menjaga kestabilan nilai rupiah. Ketiga, kini saatnya pemerintah untuk menggeber sektor pariwisata sebagai salah satu sumber pendapatan devisa yang gurih. Sektor pariwisata juga mampu menggerakkan bisnis ikutan lainnya. Sebut saja, biro perjalanan, pemandu wisata, restoran dan rumah makan, hotel, losmen dan home stay, moda transportasi udara (pesawat), laut (kapal), darat (bus, mobil, sepeda motor, sepeda) dan suku cadang kendaraan serta kerajinan tangan Nusantara sebagai oleh-oleh yang menawan. Sektor pariwisata selain sanggup menghasilkan cadangan devisa secara langsung, juga mampu menyerap tenaga kerja hingga ribuan orang. Dengan demikian, sektor ini mampu mengurangi tingkat pengangguran terbuka yang mencapai 5,5% atau 7,04 juta orang per Agustus 2017. Keempat, bank wajib menekan kredit dalam valuta asing (valas). Jangan lupa sumber dana valas antara lain dari pinjaman luar negeri. Mengapa? Karena suku bunga valas dari luar negeri lebih rendah daripada pinjaman valas domestik. Simak saja suku bunga acuan Jepang minus 0,10%, Jerman, Perancis, Italia Belanda, Austria dan Irlandia 0,00%, Inggris dan Norwegia 0,50% dan Singapura 0,59%. Bandingkan dengan BI 7 DRRR yang mencapai 4,25% sejak September 2017. Untuk itu, bank terus meningkatkan upaya kehati-hatian dalam bermain valas dan mengelola kredit valas. Sebab, sumber pengembalian kredit valas dalam negeri tentu saja rupiah yang sedang melemah cukup berat. Itu berarti potensi risiko bagi bank makin tinggi. Kalau bank mempunyai kredit valas setara US$ 1 miliar, maka kredit valas itu bisa langsung melesat menjadi setara Rp 1 triliun ketika nilai tukar rupiah melemah dari Rp 13.000 naik menjadi Rp 14.000 per dollar AS.
Potensi risiko lain akan muncul ketika nasabah kredit valas mulai kurang mampu membayar kewajiban. Kelambatan kewajiban itu akan mendorong kenaikan rasio kredit bermasalah yang kini menipis dari 3,09% per Januari 2017 menjadi 2,86% per Januari 2018. Kelima, utang luar negeri baik oleh pemerintah dan swasta suka tidak suka harus dibentengi dengan lindung nilai (hedging). Lindung nilai merupakan strategi dalam perdagangan valas (trading) untuk melindungi dana pemain dari fluktuasi nilai tukar mata uang tertentu. Dengan demikian, potensi risiko fluktuasi (volatile) nilai tukar rupiah terhadap valas seperti dollar AS dapat ditekan sedemikian rendah. Dengan aneka alternatif solusi tersebut, nilai tukar rupiah sangat diharapkan bisa dikendalikan dengan seksama. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi