KONTAN.CO.ID - Membuka sebuah usaha sudah jadi cita-citanya sejak masih duduk di bangku kuliah. Tak heran, pria kelahiran Jakarta, 15 Juli 1963, ini rela menanggalkan jabatannya sebagai
managing director di sebuah perusahaan jaringan restoran ayam cepat saji. Bisnisnya enggak jauh-jauh dari program studi yang dia tempuh sewaktu kuliah di Akademi Pariwisata Sahid: kuliner. Ketika itu, Bedi Zubaedi mengambil program studi Perhotelan dengan minat profesi Food Production di kampus yang sekarang menjadi Sekolah Tinggi Pariwisata Sahid tersebut. Pemilik Bedi Corporation,
holding company yang membawahi empat anak usaha di bidang makanan dan minuman, ini juga memulai usaha yang tak jauh dari bisnis perusahaan tempatnya bekerja terakhir kali, California Fried Chicken (CFC). Ia membuka kedai ayam goreng cepat saji, yang mengusung merek Quick Chicken.
Selain Quick Chicken yang saat ini memiliki jaringan lebih dari 400 gerai di Indonesia ini, Bedi juga berbisnis kuliner dengan
brand Zu Bento, Huma Ribs Steak n Shake, Quick Coffee, dan Bebek Nusantara. Tapi, itu tadi, sebelum sukses dengan bisnis kulinernya, Bedi memulai karier dengan bekerja di perusahaan orang. Bukan tanpa sebab. “Kalau mau usaha, ya, harus bekerja dulu, untuk mengumpulkan modal dan cari pengalaman,” katanya. Selepas lulus kuliah, Bedi diterima bekerja di sebuah perusahaan kapal pesiar di luar negeri. “Saya senang sekali, karena banyak mahasiswa perhotelan bercita-cita bekerja di kapal pesiar, dapat duit dollar, ke luar negeri bisa sekalian jalan-jalan gratis,” ungkap dia. Namun, Bedi terpaksa mengubur mimpinya bekerja di kapal pesiar asing, lantaran sang ibu tidak mengizinkannya. Meski sedih, ia pun menuruti keinginan ibundanya dan mencari kerja di tempat lain di Indonesia. Bedi sempat bekerja di restoran yang menawarkan masakan Korea dan Jepang, sebelum berlabuh di CFC. Pertama kali masuk, ia bekerja sebagai
management trainee (MT). Kariernya menanjak ke
assistant manager hingga
regional manager. “Saya berkarier di CFC sampai tahun 1999, dengan jabatan terakhir sebagai
managing director,” imbuhnya. Tentu, bukan tanpa alasan Bedi melepas jabatan mentereng tersebut. Dia ingin mewujudkan cita-citanya: berbisnis. Tapi, keputusan yang ia ambil tahun 2000 itu sejatinya tidak gampang. Saat itu, istrinya tengah mengandung anak ketiga yang tiga bulan lagi akan lahir. “Memang berat, tapi saya rasa ini
passion saya,” katanya. Sebetulnya, sang ibu tidak merestui langkah Bedi keluar dari pekerjaan dan membuka usaha. Tapi, kali ini Bedi jalan terus lantaran berbisnis benar-benar merupakan
passion-nya. Akhirnya, ibunya luluh dan memberi restu ke Bedi. Pilih Jogja Darah bisnis memang mengalir dalam tubuh Bedi. Sang ibu lah yang mengalirkan darah bisnis ke diri Bedi. Ibunya membuka usaha penyewaan alat pesta, tenda dan kursi, rias pengantin, juga katering. Sejak muda, Bedi membantu usaha ibunya itu. Ketika kuliah, dia juga berjualan es kelapa muda, asinan, serta kembang api dan petasan saat Lebaran. Sebenarnya, ketika memutuskan berhenti bekerja dan berbisnis, Bedi ingin membuka restoran yang menawarkan masakan Eropa. Maklum, saat kuliah dulu, dia diajarkan memasak kuliner benua biru. Cuma saat itu, Bedi melihat, pasar masakan Eropa tidak besar. Terlebih, masakan ini lebih banyak ada di hotel-hotel bintang lima. “Karena saya lama bekerja di industri
fast food, melihat market yang besar, banyak orang Indonesia yang suka ayam, jadilah usaha saya adalah
fried chicken,” terangnya. Bermodal uang Rp 110 juta, Bedi pun membuka gerai ayam goreng cepat saja di Yogyakarta pada 22 April 2000. Ia memilih nama Quick Chicken. Dia punya alasan: kata
quick paling banyak dipakai sebagai merek internasional. Bahkan, nama Quick Chicken sudah ia patenkan ketika masih bekerja. Selain untuk menyewa tempat, Bedi menggunakan modal awal untuk membeli peralatan. Yang baru hanya peralatan makan, “Yang lain saya beli seken. Meja kursi saya beli seken. Intinya, banyak barang seken, mungkin 50%,” bebernya. Kenapa Jogja jadi lokasi pertama gerai Quick Chicken? Bedi mengakui, banyak yang bilang aneh dengan putusannya itu. Cuma, dia menilai, ayam goreng merupakan makanan kota besar. Kalau di buka di kota yang tidak terlalu besar seperti Jogja, tentu akan kelihatan. Terlebih, Jogja sebagai kota budaya, wisata, dan pelajar menyedot banyak pendatang. Data yang masuk ke Bedi saat itu, yang keluar dari Jogja lebih sedikit dibanding yang datang. “Saya buka Quick Chicken di Jogja akan mudah dilihat oleh warga sekitar Jogja ataupun pendatang,” jelas Bedi. Lantaran mengibarkan merek baru, omzet di bulan-bulan awal terbilang kecil. Alhasil, Bedi sampai berdarah-darah. Ia sampai harus menguras tabungan dan menjual dua mobilnya sebagai tambahan modal. “Saya tidak anggap sebagai problem tetapi tantangan, tidak boleh putus asa,” tegas dia. Tapi, di bulan keenam, Bedi memberanikan diri membuka cabang di Magelang, Jawa Tengah. Masih di tahun yang sama, tahun 2000, ia buka lagi cabang di Klaten, Jawa Tengah, dan Mojokerto, Jawa Timur. Beda dengan gerai pertama yang berdiri sendiri alias
standalone, ketiga cabangnya itu semua bercokol di pusat perbelanjaan. “Ternyata, market saat itu ada di mal,” ujarnya. Untuk membesarkan usaha ini, memang, Bedi menuturkan, mau tidak mau dia harus buka cabang. Untuk menekan biaya sewa, ia melakukan negosiasi harga. Ada juga yang pakai sistem komisi, sehingga tidak perlu bayar di depan. “Setiap bulan mereka dapat berapa persen dari omzet. Hasilnya, saya menang
cashflow,” jelas dia. 1.000 gerai Cabangnya berkembang pesat di 2004–2005. Ini berkat pertemuannya dengan Hari Darmawan, pendiri jaringan ritel Matahari Department Store. Hari memberinya tempat di cabang Matahari Department Store yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk membuka gerai Quick Chicken. Tetapi, ekspansi usaha yang ekspansif di sepanjang tahun itu membuat Bedi harus menjual perhiasan milik istrinya untuk modal membeli peralatan. “Semuanya saya jual, kecuali mas kawin. Sama sekali tidak pinjam bank,” ungkap dia. Untuk menu, awal mula Bedi menjual tidak hanya
fried chicken, juga spageti, burger, dan kentang goreng. Setelah membuka gerai di pusat perbelanjaan, ia menemukan, ternyata makanan yang laris adalah nasi dan mi goreng. Maka, mulai 2001 ia menambahkan nasi goreng. “Mendongkrak penjualan banget. Nasi goreng nomor dua setelah ayam,” kata Bedi. Di 2012, Bedi membuat inovasi menu dengan menyediakan ayam penyet. Tahun lalu, ia mengeluarkan menu ayam maraton yang sangat pedas. Sehingga, orang yang memakannya bisa keluar keringat banyak kayak habis lari maraton. “Biasanya, evaluasi menu baru per enam bulan,” bebernya. Tapi, tak selamanya menu baru berhasil. Pada 2009, Bedi pernah menawarkan menu anyar: ayam stroberi. Ternyata, menu gres ini tidak laku. Urusan bahan baku, Bedi memanfaatkan jaringan yang ia kenal sewaktu bekerja di CFC. Awalnya, dia bekerja dengan para pemain besar lantaran sudah kenal. Walhasil, proses negosiasinya jadi lebih enak. Tapi akhirnya, dia berkongsi juga dengan yang kecil-kecil. Saat ini, jumlah gerai Quick Chicken lebih dari 400
outlet yang sebagian besar tersebar di wilayah Timur Indonesia. Sebanyak 125 gerai milik mitra. Salah satu cara menjaring mitra, Bedi sering ngobrol dengan pelanggan sambil memberikan kartu nama tempat kerjanya yang dulu, CFC, dengan jabatan
managing director. “Ini cukup efektif, membuat mereka percaya. Nah, tahun 2010 mulai banyak yang kenal dan minta jadi mitra,” beber dia. Pada 2015 lalu, Bedi sempat menghentikan penawaran kemitraan Quick Chicken. Namun tahun ini, ia berencana kembali menawarkan kemitraan. Soalnya, Bedi memasang target, jumlah gerainya di 2018 meningkat jadi 1.000
outlet.
Ia optimistis, target itu tercapai. Maklum, pada 2017, tepatnya 26 Oktober, dia menorehkan rekor dunia dengan membuka 50 gerai di jam dan tanggal yang sama. “Bulan lalu, kami buka 65 cabang. Kebetulan saya dapat kerjasama dengan salah satu
minimarket,” ujar Bedi. Sayang, soal omzet, Bedi menolak mengungkapkannya. Yang jelas, saban bulan dia menghabiskan 50 ton daging ayam untuk seluruh gerai. Bukan main. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: S.S. Kurniawan