Kendati sudah menginjak usia 70 tahun, sosoknya masih energik. Petang itu, dia berkemeja batik cokelat dipadu celana hitam dan sepatu hitam bermerek JK Collection. "Enak sekali dipakai, bagus dan murah," ungkapnya sembari melepas dan memamerkan sepatu buatan Cibaduyut, Bandung. Itulah penampilan sehari-hari Jusuf Kalla, Bos Kalla Group yang juga mantan Wakil Presiden RI. Dengan ramah, pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1952, tersebut mempersilakan KONTAN masuk ke ruang kantornya di kawasan Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. "Maaf telat, tadi ada yang wawancara untuk novel," kata pria yang akrab disapa JK. Dia lalu menceritakan awal mula bisnis Kalla Group. "Kalla Group merupakan usaha keluarga yang dirintis orang tua saya," ujarnya. Kedua orang tuanya, mendiang Hadji Kalla dan istrinya Athirah, mengawali usaha di bidang perdagangan tekstil di Watampone, Sulawesi Selatan.
Sejak di Watampone ini, JK terbiasa membantu orang tuanya berjualan di toko. Aktivitas itu mulai dilakoninya sejak kelas tiga sekolah dasar (SD). "Setiap pulang sekolah, saya bantu orang tua," kata JK. Kadang JK juga diajak ayahnya pergi ke Makassar buat bertemu sang tauke dan mengambil pasokan kain. Selama menemani bapaknya, ia banyak belajar tentang bisnis, seperti negosiasi, memilih barang, serta pelayanan pelanggan. "Saya juga belajar tentang semangat kejujuran ayah saya dalam bisnis," ujarnya. Bisnis keluarga Kalla di Watampone tidak berlangsung lama. Pada 1952, pecah pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Banyak toko dirampok dan dibakar. Keadaan menjadi kacau dan kehidupan bisnis pun lumpuh. Pada tahun itu juga, kedua orang tuanya memutuskan hijrah ke Makassar dan mendirikan badan usaha bernama NV Hadji Kalla Trading Company. Usaha ini bergerak di bidang jasa angkut dan ekspor impor. Di Makassar, Jusuf sekeluarga tinggal di rumah toko berlantai tiga yang dibeli sang ayah. Lantaran menyatu dengan tempat usaha, jiwa bisnis JK pun makin terasah. "Semua keluarga bahu-membahu, ibu saya fokus mengurus rumah tangga dan para karyawan," jelas JK. Di Makassar, bisnis keluarga Kalla berkembang pesat. Bisnis mereka merambah ke usaha penjualan sarung sutra, semen, susu serta jual beli hewan dan pakan ternak. Setelah hampir 13 tahun berjalan, cobaan mulai mengadang bisnis keluarga ini. "Usaha orang tua saya mulai goyah karena inflasi tinggi tahun 1965," ucap JK. Usaha ekspor-impor yang dijalankan Hadji Kalla pun lesu. Pada masa sulit ini, usaha angkutan "Cahaya Bone" tetap berjalan walau hanya dikelola satu karyawan. Di masa-masa kritis itu, ibunya berinisiatif menabung emas demi menghadapi inflasi. Tak kurang, sekitar 3 kg emas berhasil dikumpulkan orang tuanya. Demi menopang usaha, sang ibu juga berdagang sarung. Masa sulit itu membekas di hati JK. "Pada masa sulit itu, yang menghidupi kami adalah usaha niaga ibu," kenangnya. Sementara ayahnya sibuk mengurus organisasi massa (ormas) Nahdlatul Ulama (NU). JK sendiri saat itu sudah duduk di perguruan tinggi dan aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan, termasuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bahkan, saat masih mahasiswa itu ia terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan tahun 1965 mewakili Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Saat selesai menjabat anggota DPRD, ia sempat ditawari Gubernur Sulawesi Selatan untuk menjabat Kepala Depo Logistik (Dolog) Makassar. Saat itu JK sudah lulus kuliah. "Saya ditawari jabatan itu karena skripsi saya tentang beras," kata JK sembari tertawa. JK sempat tergoda dengan jabatan itu. Ia mengaku tergiur gaji besar dan rumah dinas yang lumayan mewah. Namun, ia terpaksa mengubur keinginannya menjabat Kepala Dolog. "Waktu itu, bapak saya berkata, jadi kau akan meninggalkan bisnis keluarga? Mendengar pertanyaan itu, saya langsung memutuskan menolak tawaran tersebut," kata anak kedua dari 10 bersaudara itu. JK juga berhenti dari aktivitas organisasi. Semua itu dilakukannya demi memenuhi keinginan orang tua yang memintanya membantu mengembangkan usaha keluarga. Menurut JK, usaha yang tersisa saat itu adalah bisnis angkutan "Cahaya Bone", dengan enam unit bus. Sementara pegawainya hanya tersisa satu orang. "Namanya sama dengan nama saya, Yusuf," kenangnya. JK muda mencari akal untuk menghidupkan lagi perusahaan. Tahun itu juga JK menikah dengan gadis pujaan hatinya, Mufidah. Berkat jaringan pergaulannya yang luas di Makassar, JK mendapat informasi bahwa Kantor Gubernur sedang memerlukan mobil Toyota. JK kemudian melayangkan surat ke kedutaan besar Jepang di Jakarta dan mengutarakan maksudnya mengimpor mobil Toyota. Oleh Kantor Kedutaan Jepang, JK diminta menghubungi kantor perwakilan Toyota di Jakarta. Dari situ, JK pun memesan 10 mobil Toyota yang saat itu dihargai sekitar Rp 2 juta per unit. Untuk membeli mobil tersebut, JK meminta modal usaha dari ibunya. "Kebetulan ibu saya menyimpan emas, terus saya jual sekitar setengah kilogram buat modal," kata JK. Sementara untuk keperluan administrasi impor, JK banyak dibantu isterinya, Mufidah yang saat itu bekerja di sebuah bank di Makassar. Setelah mobil pesanannya tiba di Makassar, muncul masalah baru. Mobil yang diimpor langsung dari Jepang itu masih dalam bentuk semi terurai dan perlu dirakit lagi. JK tidak kehabisan akal. Ia pun meminta montir usaha angkutan keluarganya untuk merangkai mobil tersebut. Lantaran si montir buta huruf, sempat juga salah pasang komponen. Celakanya, mobil itu dipakai sebagai kendaraan gubernur. "Saat dibanting setir ke kiri, mobil malah ke kanan," ujar JK. Saat diperiksa ternyata sang montir tidak paham petunjuk L (left/kiri) dan R (right/kanan) pada kemudi. "Jadi dipasangnya terbalik," seloroh JK. Bukannya surut, setelah peristiwa itu pesanan mobil Toyota terus bertambah. Hingga sekitar tahun 1970-an, perusahaannya resmi ditunjuk PT Toyota Astra Mobil (agen tunggal pemegang merek Toyota di Indonesia) menjadi distributor resmi Toyota di wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah (sekarang bertambah untuk Sulawesi Barat). Sejak itulah, bisnis dealer mobilnya membesar dan menguasai pasar Indonesia Timur. "Bahkan kami sekarang menjadi penjual Toyota paling banyak bagi Astra," ungkapnya. Di tangan JK, perusahaan terus dikembangkan dengan misi membangun usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Perlahan bisnis keluarga itu merambah bidang angkutan, ekspor plastik, cokelat, dan lain-lain. Usaha pertokoan dibenahi dan ekspor-impor juga dihidupkan lagi. Misi JK membangun usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak terus berlanjut dengan mendirikan beragam usaha di bawah Kalla Group.
Sejak Tahun 1982, Grup Hadji Kalla dipimpin JK. Untuk kawasan Indonesia Timur, Grup Hadji Kalla merupakan kelompok usaha yang paling menonjol. Kendali usaha dipusatkan di Makassar, sedangkan operasionalnya meliputi seluruh wilayah Sulawesi dengan tiga bidang usaha utama: otomotif, perdagangan dan konstruksi. Grup Hadji Kalla juga mengerjakan proyek-proyek untuk kawasan Indonesia Timur, khususnya yang berkaitan dengan infrastruktur dan energi. JK mundur dari dunia bisnis pada Oktober 1999, ketika diangkat Presiden Abdurrahman Wahid menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Kariernya di pemerintahan terus berlanjut menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat di era Megawati dan Wapres dari tahun 2004-2009 di era SBY. Lantaran tidak bisa lagi fokus mengurus bisnis, kepemimpinan di PT Hadji Kalla pun dilanjutkan oleh adiknya Fatimah Kalla. "Sekarang saya tidak punya jabatan apa-apa," katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri