KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perbankan kian gencar melakukan aksi penambahan modal dengan skema
rights issue jelang akhir tahun. Langkah ini dilakukan guna mengejar modal intir Rp 3 triliun per 31 Desember 2022. Bila tak melakukan penambahan modal, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan meminta bank tersebut untuk dimerger dengan bank lain. Opsinya lainnya turun kelas jadi bank perkreditan rakyat atau bersedia melakukan likuidasi secara sukarela. Dari 17 bank yang belum memiliki modal inti Rp 3 triliun tersebut 12 diantaranya memilih untuk melakukan
rights issue. Diantaranya Bumi Arta (
BNBA) dengan target dana Rp 828,5 miliar. Lalu Bank Ganesha (
BGTG) dengan target dana Rp 900 miliar.
Bank Ina (
BINA) dengan target dana Rp 1,24 triliun, Bank Maspion (
BMAS) dengan target dana Rp 1,7 triliun, Bank Victoria (
BVIC) dengan target Rp 499 miliar.
Baca Juga: Bank BJB Dinobatkan Sebagai Salah Satu Pemenang LPS Banking Award 2022 Kemudian, Bank Amar (
AMAR) dengan target dana Rp 1,2 triliun. Lalu Bank MNC (
BNBA) dan Bank Nobu (
NOBU) yang belum umumkan harga pelaksanaan maupun target dana yang akan dihimpun. Ada juga Bank of India (
BSWD) dengan target dana Rp 1,39 triliun. Namun, hingga saat ini saham BSWD masih di-
suspend oleh Bursa Efek Indonesia.
Research & Consulting Manager Infovesta Utama Nicodimus Kristiantoro menyatakan secara jangka pendek, pelaksanaan
rights issue akan membuat jumlah lembar saham yang beredar untuk saham itu akan semakin banyak. Efeknya harga saham akan terdilusi dan bisa turun dalam jangka pendek. “Namun koreksi hanya akan sesaat jika emiten punya fundamental yang kuat. Dalam memilih
rights issue, investor bisa memperhatikan berapa besar harga
rights issue-nya, semakin rendah harga
rights issue dibanding harga di pasar maka akan semakin menarik minat investor dengan tawaran harga diskon,” ujarnya kepada Kontan.co.id pada Rabu (30/11). Lanjutnya, faktor yang kedua yang harus investor perhatikan, fundamental emiten tersebut. Perusahaan yang stabil mencatatkan
growth dari sisi pendapatan dan laba bersih. Juga didukung murahnya harga
rights issue akan lebih diminati investor seperti sahamnya. “Kalau dari pilihan bank di atas, yang menarik untuk dikoleksi
rights issue dari saham BMAS karena menawarkan harga
rights issue Rp 410 atau lebih rendah dari harga pasar Rp 1.135. Selain itu fundamental dari BMAS menunjukkan peningkatan pendapatan dan laba bersih pada kuartal ketiga 2022 ini,” jelasnya. Meski dinilai menarik, jumlah saham beredar BMAS yang dimiliki oleh publik terbilang kecil. Berdasarkan data RTI, kepemilikan saham masyarakat pada BMAS hanya 0,29% dari jumlah saham yang beredar. Sedangkan untuk melihat kadar murah dan mahal dari suatu bank digital, Nicodimus menyatakan bisa menggunakan
price to book value (PBV). Bank dengan PBV lebih rendah dibandingkan rata-rata industri PBV maka akan lebih murah, begitu sebaliknya “Rata rata industri PBV bisa dihitung manual dari kumpulan PBV semua bank. Berdasar data Infovesta, Rata rata PBV industri perbankan saat ini 3,51x,” katanya. PT Bank Ina Perdana Tbk akan melakukan penguatan modal dengan skema Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) alias
rights issue. Bank bersandi saham BINA ini akan menerbitkan 296,85 juta lembar saham baru atau 4,76% dari total saham yang ditempatkan.
Baca Juga: Tahun Ini Ngegas, Bagaimana Prospek Saham, CPO, Batubara dan Nikel pada Tahun Depan? Setiap pemegang 1 HMETD yang tercatat hingga 28 November 2022 pukul 16.00 WIB berhak membeli sebanyak satu saham baru dengan harga pelaksanaan berkisar antara Rp 3.600 hingga Rp 4.200 setiap saham yang harus dibayar penuh pada saat pelaksanaan HMETD. Sehingga jumlah dana yang akan diterima Perseroan dalam PMHMETD IV ini sebanyak-banyaknya sebesar Rp 1,24 triliun. Saham hasil HMETD akan dicatat dan diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI). “
Rights issue kami paling lambat pertengahan Desember 2022, bisnis Bank Ina tetap menjadi
hybrid bank conventional dan unit digital tetap fokus di
retail sektor,” ujar Direktur Utama Bank Ina Daniel Budirahaju. Ada juga PT Bank Neo Commerce Tbk (BNC) termasuk dalam jajaran bank yang masih belum memiliki modal inti Rp 3 triliun per September 2022. Oleh sebab itu, bank bersandi saham BBYB ini akan menggelar
rights issue.
Sebenarnya, rencana aksi aksi penguatan modal ini telah ada sejak awal tahun, namun manajemen menunda ke kuartal ketiga atau keempat 2022. Sejak awal, BBYB berencana menargetkan dana segar senilai Rp 5 triliun. Direktur Utama Bank Neo Commerce Tjandra Gunawan menyatakan mempertimbangkan kondisi
market dan perekonomian beberapa bulan terakhir, manajemen memutuskan untuk mengubah target perolehan dana dari perhelatan
rights issue kami. BBYB kini hanya menargetkan bisa menghimpun dana segar sebesar Rp 1,7 triliun. “Angka ini sementara kami nilai sangat cukup untuk menjadi
fuel bagi BNC dalam mengeksekusi
milestones yang sudah kami rencanakan ke depannya. Kami percaya pencapaian positif kinerja BNC di sepanjang tahun ini, menunjukkan bahwa kinerja BNC berada pada jalur yang tepat, sehingga dana yang akan didapat secara efektif dan efisien dapat mendukung kinerja usaha Perseroan yang lebih baik lagi di tahun depan,” pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi