KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) memberikan peringatan kepada sejumlah emiten yang terancam
delisting. Terhitung sejak bulan November sampai hari ini, setidaknya ada delapan emiten yang berpotensi terdepak dari keanggotaan BEI. Padahal, dua di antara delapan emiten tersebut masih relatif baru melantai di bursa saham. Mereka adalah PT Bliss Properti Indonesia Tbk (
POSA) dan PT Envy Technologies Indonesia Tbk (
ENVY). POSA baru menggelar pencatatan saham perdana alias
initial public offering (IPO) pada 10 Mei 2019. Sedangkan ENVY melakukan IPO pada 8 Juli 2019.
Dalam pengumuman BEI pada 24 November 2022, saham POSA telah disuspensi di seluruh pasar selama 24 bulan. Sementara itu, saham ENVY telah disuspensi selama 24 bulan per 1 Desember 2022.
Baca Juga: Belum Lama IPO, Emiten Ini Berpotensi Terdepak dari Bursa Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori Fajar Dwi Alfian menyampaikan, potensi
delisting bisa menerpa semua emiten. Tak terlepas emiten lama, maupun yang baru IPO. Sehingga, bukan berarti ada kesalahan dalam proses penyaringan
(screening) saat pencatatan saham. Sebab, proses suatu emiten bisa sampai terancam
delisting lebih didorong oleh dinamika korporasi dan pasar setelah IPO. "
Delisting karena perusahaan tidak memenuhi peraturan di bursa setelah dia IPO. Jadi bisa terjadi ke semua emiten," ujar Fajar kepada Kontan.co.id, Jum'at (2/12). Fajar membeberkan,
delisting terbagi menjadi dua kategori.
Pertama,
delisting sukarela (voluntary delisting). Biasanya, perusahaan menghentikan operasinya karena bangkrut, tidak memenuhi persyaratan otoritas bursa, atau ingin kembali menjadi perusahaan tertutup. Kedua,
delisting paksa
(forced delisting). Biasanya terjadi karena perusahaan tidak menyampaikan laporan keuangan, keberlangsungan bisnis perusahaan dipertanyakan, serta tidak ada penjelasan selama 24 bulan.
Baca Juga: Soal Rencana Delisting, Begini Penjelasan Bank of India Indonesia (BSWD) Mekanisme
delisting ini tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 3/PJOK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal. Para emiten diminta untuk membeli kembali secara sukarela maupun terpaksa saham-sahamnya yang sudah dijual ke publik. Namun, Fajar menyoroti prosesnya yang memerlukan waktu lama. Sehingga investor seringkali mendapatkan kerugian. "Meski seharusnya para investor sudah menyadari dan melakukan antisipasi terhadap saham-saham yang berpotensi untuk
delisting," imbuhnya. Oleh sebab itu, menjadi penting bagi investor untuk mencermati notasi khusus dan fundamental emiten. Termasuk penerapan
good corporate governance (GCG) di pasar modal. Analis Kanaka Hita Solvera Raditya Krisna Pradana turut mengingatkan,
delisting merupakan salah satu risiko yang harus diantisipasi investor. Sebelum terjerumus, Raditya menyarankan agar investor cermat melakukan tindakan preventif.
Baca Juga: Terus Tertekan, Kapitalisasi Pasar Saham GOTO Hangus Rp 106 Triliun Dalam Dua Pekan Raditya bilang, investor harus secara rutin menelaah kondisi fundamental emiten. Hal ini juga penting untuk bisa melakukan review berkala terhadap investasi yang dilakukan emiten. "Kalau dari sisi teknikal, investor harus cermati dan rajin melakukan
stop loss apabila diperlukan. Tapi masih banyak yang
hold sampai
delisting," imbuh Raditya.
Saran Fajar tak jauh berbeda. Supaya tidak terjebak di dalam saham
delisting, investor perlu mencermati pergerakan sahamnya. Apakah sahamnya aktif diperdagangkan, atau sebaliknya. Kemudian, perhatikan kondisi keuangan, operasional, dan pengelolaan perusahaan. Indikator emiten yang sehat juga dapat dilihat dari komitmen emiten dalam membagikan dividen. "Sedangkan faktor eksternal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana perusahaan menjalankan regulasi yang di tetapkan otoritas," tandas Fajar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati