KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Sejumlah perusahaan swasta kakap dan PT PLN semakin serius menggali ceruk bisnis PLTS di dalam negeri karena melihat potensi keuntungan yang besar
seiring meningkatnya kebutuhan energi bersih dari matahari dalam beberapa tahun ke depan. PT PLN sudah memproyeksikan keuntungan yang bisa didapat lewat berjualan panel surya atap yakni Rp 2,6 triliun sampai 2027. Bisnis ini dijalankan oleh PT PLN Icon Plus dengan strategi
bundling dengan layanan
smart green solution ke sektor kawasan industri dan perumahan.
Tidak hanya PLN, saat ini sudah banyak perusahaan besar yang membidik keuntungan jangka panjang dari bisnis PLTS.
Ketua Indonesia Center for Renewable Energy Studies (ICRES), Surya Darma menyatakan
tidak heran jika saat ini banyak perusahaan besar seperti PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA), Adaro-Medco-TBS Energy, hingga Sinar Mas masuk ke bisnis PLTS, baik itu pemasangan maupun membangun pabrik.
Baca Juga: Indonesia Kembali Negosiasikan Pendanaan Pemensiunan Dini PLTU ke AS “Mereka sebagai pelaku bisnis selalu berusaha pada sektor yang akan menguntungkan baik secara finansial maupun secara
branding image,” ujarnya kepada
Kontan.co.id, Sabtu (18/11).
Menurutnya, bisnis ke sektor hijau semakin marak sejak COP21 di Paris dan COP26 di Glasgow. Momentum itu menjadi satu titik balik karena hampir semua negara memiliki komitmen transisi energi untuk mewujudkan target
net zero emission (NZE) 2050. Indonesia sendiri sudah mencanangkan target NZE pada 2060.
Indonesia pun sudah berkomitmen mengurangi peran pembangkit batubara di dalam peta jalan transisi energi sesuai Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2022. Di dalam beleid tersebut, pemerintah akan menghentikan pembangunan pembangkit batubara dan pemensiunan PLTU. Sebagai gantinya, pembangunan pembangkit EBT akan semakin masif.
“Pelaksanaan transisi energi ini akan banyak melibatkan peran energi surya,” ujarnya.
Sejalan dengan tren yang berubah, tentu perusahaan melakukan pencitraan (
branding) pada aktivitas bisnisnya ke sektor hijau.
“Pasti perusahaan-perusahaan kelas kakap akan berusaha memperoleh
image itu sekaligus juga akan melakukan transformasi dan diversifikasi usaha untuk mengantisipasi tren dunia saat ini,” jelasnya.
Surya menilai, pertimbangan perusahaan kakap masuk ke sektor PLTS juga karena melihat potensinya yang gurih. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan kapasitas terpasang pembangkit EBT mencapai 700 Gigawatt (GW) pada 2060 yang sebagian besar kebutuhan itu dipenuhi dari PLTS.
ICRES optimistis, kebutuhan itu mampu dipenuhi karena potensi PLTS Indonesia yang sudah terdata dan dipublikasikan Kementerian ESDM, mencapai lebih dari 3.000 GW.
Hanya saja, menurutnya masih ada tantangan untuk memenuhinya.
Baca Juga: PLTS Terapung Skala Besar Semakin Diminati Selama ini ini PLTS yang dipasang masih dalam ukuran skala kecil-kecil. Sedangkan, ukuran atau kapasitas pembangkit surya ini sangat mempengaruhi harga jual (tariff) listriknya. Secara umum, semakin besar skala kapasitas pasang PLTS, tarif listrik yang dihasilkan akan semakin murah dibandingkan PLTS skala kecil.
“Tentu saja peluang ini harus bisa dimanfaatkan sebagai potensi dan perkembangan PLTS khususnya bagi pabrikan panel surya di Indonesia,” tandasnya.
Analis Energi Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna menambahkan, saat ini permintaan publik memasang PLTS semakin meningkat utamanya dari sektor komersil dan industri.
“Tetapi kejelasan lebih tentunya diperlukan mengingat target pemerintah masih perlu ditingkatkan beserta konsistensi regulasi,” ujarnya kepada
Kontan.co.id dihubungi terpisah.
Putra menyatakan, masuknya PLN dalam bisnis PLTS Atap bisa dipahami, namun perusahaan setrum pelat merah ini perlu memberikan ruang yang cukup pada sektor swasta karena transisi energi tidak bisa hanya bertopang kepada PLN. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .