Ramai-ramai Perusahaan Barang Mewah Pangkas Harga Jual untuk Dongkrak Penjualan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam lanskap industri mode mewah yang mendominasi Eropa, para raksasa seperti LVMH, Kering, dan Chanel tampaknya harus menghadapi kenyataan pahit: margin keuntungan yang sangat tinggi mungkin akan menjadi kenangan di tahun 2025.

Selama pandemi, kelompok ini meningkatkan harga barang-barang mewah seperti tas, sepatu, dan jaket secara agresif. Namun, melemahnya permintaan dari konsumen Tiongkok memaksa para CEO untuk mengevaluasi ulang strategi mereka.

Penurunan Permintaan dari Pasar Tiongkok

Tiongkok, yang sebelumnya menjadi tambang emas bagi merek-merek mewah, kini berubah menjadi tantangan besar.


Baca Juga: Miliarder Bernard Arnault Kehilangan US$13 Miliar dalam Sehari

Sebagai contoh, Kering, yang menaungi merek-merek terkenal seperti Gucci, mencatat penurunan penjualan sebesar 30% di kawasan Asia-Pasifik (kecuali Jepang) pada kuartal ketiga tahun 2024 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini terutama disebabkan oleh lesunya pasar Tiongkok.

Strategi Harga Tinggi dan Efeknya

Alih-alih menurunkan harga seperti yang biasa dilakukan oleh kebanyakan peritel, perusahaan barang mewah memilih jalur berbeda. Lonjakan inflasi akibat pandemi COVID-19 dimanfaatkan untuk meningkatkan harga.

HSBC memperkirakan harga barang mewah meningkat rata-rata 54% antara akhir 2019 hingga September 2024. Contohnya, tas Louis Vuitton Speedy Bandoulière yang sebelumnya dihargai €1.600 kini menjadi lebih mahal, begitu pula tas Chanel 2.55 flap yang melonjak hingga €11.100.

Strategi ini memang berhasil meningkatkan profitabilitas. Pada 2021, margin laba operasi LVMH mencapai 27%, tertinggi sejak krisis finansial 2008. Namun, mempertahankan harga tinggi kini menjadi dilema, karena langkah tersebut bisa melemahkan citra eksklusif merek sekaligus menggerus margin keuntungan.

Baca Juga: Tahun 2024, Masa Suram Bagi Perusahaan Barang Mewah

Ketergantungan pada Pasar Tiongkok

Eksekutif mode tetap berharap besar pada pasar Tiongkok, yang menyumbang sepertiga dari penjualan barang mewah global.

Menurut analis Bank of America, konsumen Tiongkok menjadi satu-satunya pendorong pertumbuhan pendapatan selama paruh pertama tahun 2024.

Namun, krisis properti yang berkepanjangan dan nilai yen yang menguat membuat belanja konsumen Tiongkok melemah drastis.

Krisis Properti dan Dampaknya pada Konsumen

Properti menyumbang 70% dari kekayaan rumah tangga di Tiongkok, menurut survei bank sentral negara tersebut. Namun, penjualan residensial dalam 10 bulan hingga Oktober 2024 turun 40% dibandingkan periode yang sama pada 2019, baik dari segi volume maupun nilai.

Sementara itu, tabungan rumah tangga mencapai rekor 149 triliun yuan (US$21 triliun) pada September, dengan pertumbuhan jauh melampaui peningkatan penjualan ritel.

Selama krisis properti pada 2015, merek-merek mewah terpaksa memangkas harga hingga 20% untuk mempertahankan daya tarik pasar. Namun, kali ini Presiden Xi Jinping tidak memberikan sinyal akan menyelamatkan pasar real estat seperti sebelumnya.

Baca Juga: Pasar Barang Mewah Bekas di China Tumbuh Pesat, Louis Vuitton dan Coach Resah

Pilihan Sulit untuk Masa Depan

Tanpa pemulihan signifikan dalam belanja konsumen Tiongkok, industri barang mewah menghadapi keputusan sulit. Jika ingin mencegah penurunan volume penjualan lebih lanjut, penurunan harga tampaknya menjadi langkah yang tak terhindarkan.

Meski berat, penyesuaian harga dapat menjadi kunci agar merek-merek mewah tetap relevan di pasar global yang dinamis.

Industri mode mewah kini berada di persimpangan jalan, di mana keputusan strategis berikutnya dapat menentukan nasibnya di tengah tantangan ekonomi yang terus berkembang.

Selanjutnya: Harga Pangan di Sulawesi Barat 20 Desember 2024: Cabai Rawit dan Ikan Tongkol Naik

Menarik Dibaca: Katalog Promo JSM Alfamidi Periode 20-22 Desember 2024, Es Krim Beli 1 Gratis 1

Editor: Handoyo .