KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aksi demonstrasi mahasiswa yang berlangsung Senin (23/9) masih berlanjut hingga Selasa (24/9). Senin lalu, mahasiswa di Yogyakarta membuat gerakan #GejayanMemanggil untuk mengumpulkan mahasiswa di Jalan Gejayan, Yogyakarta. Aksi serupa digelar di beberapa daerah lain, seperti di Malang dan di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta. Hari ini, aksi kembali digelar di depan gedung Parlemen. Jumlah massa pun kian banyak karena mahasiswa dari sejumlah daerah akan merapat ke Jakarta. Dengan mengusung tagar #ReformasiDikorupsi, secara garis besar tuntutan mereka sama. Mahasiswa meminta Presiden Joko Widodo membatalkan Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (revisi UU KPK) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Baca Juga: Bingung, Fahri Hamzah: KUHP ini KUHP demokrasi, kok ingin balik ke kolonial? Protes juga disuarakan terhadap RUU Pertanahan dan RUU Pemasyarakatan. Sejumlah RUU tersebut dianggap tak sesuai dengan amanat reformasi. Untuk aksi di DPR, ada empat poin tuntutan mahasiswa:
Pertama, merestorasi upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kedua, merestorasi demokrasi, hak rakyat untuk berpendapat, penghormatan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, dan keterlibatan rakyat dalam proses pengambilan kebijakan.
Ketiga, merestorasi perlindungan sumber daya alam, pelaksanaan reforma agraria dan tenaga kerja dari ekonomi yang eksploitatif.
Keempat, merestorasi kesatuan bangsa dan negara dengan penghapusan diskriminasi antaretnis, pemerataan ekonomi, dan perlindungan bagi perempuan.
Baca Juga: Pukul 01.00 dini hari: Senayan rusuh, 88 orang dirawat di RSPP Tuntutan yang lebih spesifik disampaikan dalam aksi di Gejayan. Setidaknya ada tujuh poin yang mereka dorong: 1. Mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP. Pembahasan RKUHP menuai polemik lantaran beberapa pasalnya dianggap represif dan tidak pro dengan hak asasi manusia. Sebagai contoh, ada pasal-pasal yang dianggap mengekang kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Jika RUU KUHP disahkan, netizen dan wartawan yang dianggap beritanya menghina presiden atau pemerintah akan dipidana. Contoh lain adalah Pasal 432 tentang penggelandangan. Di aturan tersebut disebutkan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.
Baca Juga: Mahasiswa masih bertahan, titik orasi berpindah di kawasan Palmerah Pasal tersebut berpotensi menjadi pasal karet karena kategori penggelandang bisa dienterpretasikan luas. Ketentuan lain yang diprotes adalah pasal zina. Sebab, pasal ini dianggal terlalu mengatur warga negara hingga ke ranah privasi. Namun, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menunda pengesahan RUU KUHP. 2. Mendesak pemerintah dan DPR untuk merivisi UU KPK yang baru saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Ada tujuh poin yang menjadi catatan dalam RUU KPK yang sudah diketok palu oleh anggota Dewan. Pertama, soal status kedudukan kelembagaan KPK yang akan berubah menjadi lembaga penegak hukum yang berada di rumpun eksekutif, tetapi tetap melaksanakan tugas dan kewenangan secara independen. Kedua, soal keberadaan Dewan Pengawas KPK yang punya kewenangan melaksanakan tugas dan wewenang KPK, memberi/tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai, memeriksa dugaan pelanggaran kode etik, mengevaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK setahun sekali.
Keberadaan dewan pengawas ini dinilai berpotensi mengganggu penanganan perkara karena dugaan konflik kepentingan. Ketiga, pembatasan fungsi penyadapan karena KPK wajib meminta izin tertulis dari dewan pengawas sebelum menyadap. Dalam aturan sebelumnya KPK berwenang sendiri melakukan penyadapan tanpa perlu meminta izin. Keempat, KPK berwenang menerbitkan SP3 untuk perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu maksimal dua tahun. Kemudian, KPK juga wajib berkoordinasi dengan penegak hukum lain dalam hal pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Pasal kontroversi lain ialah mengatur soal mekanisme penyitaan dan penggeledahan serta status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara. Namun, Jokowi memastikan tak akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mencabut UU KPK.
Editor: Barratut Taqiyyah Rafie