Rantai suplai bahan baku farmasi masih manjadi kendala



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rantai suplai industri farmasi masih bermasalah. Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi masih mengeluhkan isu finansial yang menimpa proses pengadaan obat, termasuk di antaranya tunggakan yang belum dibayarkan pemerintah kepada industri obat.

GP Farmasi yang sudah berdiri sejak 1969 dan menaungi tidak kurang dari 200 perusahaan farmasi di Indonesia saat ini mengalami kesulitan karena tunggakan-tunggakan ini.

Vincent Harijanto, Ketua Komite Perdagangan dan Industri Bahan Baku Farmasi Gabungan Pengusaha GP Farmasi menjelaskan ada dua masalah yang masih dibicarakan dengan setiap stakeholder terkait. Baik dari Kementerian Kesehatan, dan juga BPJS Kesehatan.


"Pertama soal keterlambatan pembayaran dan juga klausul harga obat dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)," kata Vincent kepada Kontan.co.id, Minggu (7/10).

Sebelumnya, Gabungan Perusahaan Farmasi lndonesia (GPFI) mendata hutang JKN kepada Pedagang Besar Farmasi dan Penyalur Alat Kesehatan (PBF/PAK) yang telah jatuh tempo, semakin membengkak dan semakin panjang masa pembayarannya.

Hutang Obat dan alkes yang jatuh tempo yang belum dibayar mencapai Rp 3,5 triliun per Juli 2018, dan masih akan terus membesar dari waktu ke waktu sesuai dengan aktivitas supply sampai akhir tahun 2018.

"Bila terlambat dua sampai tiga bulan masih bisa oke. Tapi bila sudah lebih sangat memberatkan PBF, PAK dan lndustri Farmasi," kata Vincent.

Kedua, dalam kontrak program JKN tersebut tidak ada klausul harga jual produk obat. Baik kenaikan maupun penurunan harga bila ada situasi berubahanya harga bahan baku dari luar negeri dan juga nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat (AS).

"Sudah ada komunikasi dengan setiap stakeholder semoga akhir bulan atau paling tidak awal bulan depan sudah selesai masalah ini," kata Vincent.

Mengenai harga jual, Vincent mengaku belum bisa memastikan kenaikannya. Sebab tiap obat dalam program JKN punya standar marjin yang berbeda. Sedangkan untuk obat non generik, pihak perusahaan farmasi dapat bebas merubah harga jual. Hal ini karena tidak aturan baku dari pemerintah soal harga tersebut.

Kisruh ini sejatinya ironis. Padahal pelaku industri berharap dengan terbitnya Inpres 14/2016 banyak harapan agar industri farmasi dapat berkembang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .