KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah perbankan belum berhasil menekan rasio kredit berisiko atau
loan at risk (LAR). Risiko industri perbankan setelah Covid-19 juga masih belum sepenuhnya normal. Hal ini tercermin dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio indikator risiko kredit yang disalurkan atau
loan at risk (LAR) tercatat sebesar 13,38% per Mei 2023. Angka ini memang sudah menurun dari periode yang sama tahun sebelumnya, yakni 17,98%. Tetapi masih lebih tinggi dari posisi sebelum pandemi yakni sekitar 11%. Di sisi lain, jumlah kredit bermasalah atau
non performing loan (NPL) gross perbankan terus menurun. Per Mei 2023 turun ke 2,52% dari tahun sebelumnya yang sebesar 3,04%.
Baca Juga: BRI Targetkan Porsi Loan at Risk Menjadi Single Digit pada 2025 Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan menilai, penyebab LAR masih tinggi dikarenakan dampak dari perlambatan ekonomi global masih cukup dirasakan terutama adanya penurunan daya beli yang membuat semakin tingginya risiko usaha di tahun ini. "Upaya untuk meningkatkan kualitas kredit adalah dengan melakukan monitoring secara periodik, selektif dan lebih berhati-hati dalam memberikan pembiayaan kredit dan mengintensifkan program penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah kepada debitur bermasalah," ungkap Trioksa kepada kontan.co.id, Jumat (21/7). Oleh karena itu, sejumlah perbankan seperti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) optimistis bisa menurunkan kredit yang direstrukturisasi pasca pandemi Covid-19. Alhasil, rasio Loan at Risk (LAR) juga bisa membaik. Direktur Manajemen Risiko BRI Agus Sudiarto mengatakan rasio Loan at Risk (LAR) BRI per Juni 2023 ada di level 15,1%. Harapannya, angka tersebut bisa turun menjadi single digit pada akhir tahun depan atau tahun 2025. Dalam hal ini, Agus menyebutkan target tersebut perlu dilakukan beriringan dengan menurunkan kredit yang direstrukturisasi. Posisi Juni 2023, BRI mencatat kredit yang direstrukturisasi sekitar Rp 83,2 triliun atau sekitar 7,64% dari total kredit BRI. “Jadi setiap bulan kami turun antara Rp 3 triliun sampai Rp 5 triliun. Mudah-mudahan sisanya ini bisa kami kelola hingga akhir tahun ini terus menurun,” ujar Agus, Kamis (20/7). Kendati demikian untuk memperkuat kondisi yang semakin membaik, pihaknya menerapkan strategi konservatif dengan mengalokasikan dana pencadangan yang lebih dari memadai sebagai salah satu mitigasi risiko. Adapun NPL coverage BRI selama masa pandemi yaitu mencapai sebesar 247,98% pada 2020, atau naik menjadi 278,14% pada 2021. Pada 2022 persentasenya ditingkatkan menjadi 291,54%. Sedangkan pada kuartal I/2023 sebesar 268,93%. “Jadi 2020, 2021 sampai 2022 memang kami di BRI melakukan upaya mitigasi yang sangat konservatif. Di mana pencadangan-pencadangan yang kami lakukan cukup memadai sehingga dibandingkan posisi pre-pandemic kenaikannya cukup signifikan,” ungkapnya.
Baca Juga: OJK Dorong Perbankan Pertebal Pencadangan PT Bank Tabungan Negara (BTN) juga terlihat masih belum berhasil menekan LAR. Per Juni 2023 ini LAR perseroan tercatat sebesar 22% masih lebih tinggi dari periode sama tahun sebelumnya yang mencapai 20,13% Dari sisi kualitas aset bank, rasio risiko kredit bermasalah atau
non performing loan (NPL) gross tercatat sebesar 3,66%. Angka tersebut naik 11 basis poin dari tahun sebelumnya sebesar 3,54%. Sedangkan NPL nett sebesar 1,75% atau meningkat 71 bps dari tahun sebelumnya yang sebesar 1,04%. Direktur Risk Management BTN Setiyo Wibowo mengakui bahwa LAR perseroan masih tinggi. Setiyo melihat LAR yang tinggi tersebut sangat berpotensi turun level (
down grade) menjadi NPL jika dianggap tidak memiliki prospek lagi. "Tahun 2023 kita akan menjaga untuk trus menurunkan LAR menjadi kisaran 19% dan NPL dibawah 3%," katanya. Setiyo menyebut, ada beberapa sektor yang kualitas kreditnya bermasalah. Dalam hal ini, sektor properti
high rise yang dinilai permintaannya belum pulih tapi kondisi sedang kelebihan pasokan. Walau begitu, menurutnya perbaikan bisnis proses perkreditan telah berjalan baik dan membuktikan kualitas yang solid sehingga akan terus diperbaiki dengan teknologi digital. Disamping itu, program restrukturisasi covid-19 terus dikurangi sehingga debitur kembali normal dan bisa meningkatkan aset sales dari portfolio NPL. Sementara Lani Darmawan, Presiden Direktur Bank CIMB Niaga menyebut, kredit berisiko atau LAR perseroan semakin menurun dan mendekati normal pre covid. Perseroan mencatat hingga saat ini rasio LAR sekitar 13%.
Baca Juga: Risiko NPL Mengintai, Perbankan Kerek Pencadangan "Karena memang ada segmen seperti UMKM yang berdampak lebih besar terhadap covid. NPL juga sudah ke level yang baik di 2,5%, terlihat adanya perbaikan yang signifikan yoy. Oleh karena itu kami targetkan
asset quality akan tetap sehat dengan NPL sekitar 2,5%," jelasnya. Di tahun 2023 pihaknya optimistis kualitas aset perbankan akan terkendali didukung oleh pertumbuhan kredit yang juga diproyeksikan masih cukup baik di tengah kenaikan suku bunga dan perlambatan ekonomi. Sementara dari sisi strategi bisnis, CIMB Niaga mengaku akan berfokus pada dua segmen yang menjadi kekuatan utama yaitu Konsumer dan Small Medium Enterprise (SME). Sementara dari sisi korporasi, fokus area perseroan adalah perusahaan-perusahaan top tier, multi nasional, dan BUMN yang memiliki posisi keuangan dan arus kas yang kuat serta relatif resilient terhadap fluktuasi kondisi makro. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi