KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak Presiden Joko Widodo memulai kepemimpinannya pada tahun 2014, rasio pajak Indonesia mengalami penurunan yang signifikan. Direktur Kebijakan Publik Celios Media, Wahyudi Askar, mengungkapkan bahwa rasio pajak Indonesia turun hingga 26,28% dalam sepuluh tahun terakhir. Pada tahun 2014, rasio pajak tercatat sebesar 13,7%, sedangkan pada APBN 2024, diperkirakan akan menurun menjadi 10,1%.
Wahyudi Askar menyebut penurunan rasio pajak ini sebagai yang terendah dalam sejarah dan mengakibatkan menurunnya pendapatan negara, sementara pengeluaran tetap tinggi dan ambisi Presiden Jokowi berujung pada penambahan utang.
Baca Juga: Celios: 10 Lubang Fiskal Era Jokowi Jadi Tantangan Pemulihan Ekonomi Prabowo-Gibran "Penurunan tajam ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem perpajakan dalam memanfaatkan potensi pendapatan domestik, serta keterbatasan anggaran pemerintah untuk program strategis," kata Wahyudi dalam diskusi publik pada Kamis (12/9). Secara rinci, rasio pajak Indonesia menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014, rasio pajak adalah 13,7%, turun menjadi 11,6% pada tahun 2015, 10,8% pada tahun 2016, dan seterusnya. Pada tahun 2019, rasio pajak turun menjadi 9,8%, mencapai titik terendah 8,3% pada tahun 2020, dan kini berada pada angka 10,1%. Wahyudi menilai bahwa pemerintah belum optimal dalam meningkatkan penerimaan negara dari pajak penghasilan, terutama dari kalangan miliuner.
Baca Juga: Tunda dan Kaji Ulang Subsidi KRL Berbasik NIK Menurutnya, pengenaan pajak yang lebih tinggi bagi orang-orang kaya berpotensi mendongkrak penerimaan dan rasio pajak secara signifikan. "Saat ini, orang miskin dikenakan pajak tinggi sementara orang kaya justru mendapatkan insentif besar," jelasnya. Selain itu, Wahyudi juga menyoroti kontribusi pajak dari sektor pertambangan yang dianggap sangat kecil, bahkan lebih rendah dibandingkan sektor transportasi. Ia mengaitkan penurunan pendapatan pajak dengan pengaruh oligarki di sekitar Presiden Jokowi. "Empat menteri yang terafiliasi dengan sektor pertambangan memiliki kekayaan mencapai Rp 13 triliun, yang mempengaruhi kurang optimalnya pajak dari industri ekstraktif," tambahnya.
Baca Juga: Beban Berat Anggaran Negara di Masa Transisi Penerapan tax holiday di Indonesia juga dianggap belum efektif dalam menarik investasi. Penerapan tax allowance berpotensi mengurangi penerimaan pajak, sementara pengampunan pajak jilid 1 dan jilid 2 tidak memberikan manfaat signifikan bagi negara. "Kelas menengah diminta membayar pajak penuh, sementara kelas atas justru mendapatkan pengampunan pajak yang tidak sesuai dengan kenyataan," pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli