Rasio Pembiayaan Bermasalah Capai Dobel Digit, Begini Strategi LPEI Tekan NPF



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) harus berupaya keras memperbaiki kualitas pembiayaan meskipun menjalankan tugas khusus dari pemerintah. Berdasarkan laporan keuangan per Juni 2022, rasio pembiayaan bermasalah alias non performing financing (NPF) bruto di level 20,84% dan neto 7,54%. 

Nilai itu turun dari NPF bruto per Juni 2021 yang sebesar 21,38% dan neto sebesar 8,55%. Pada paruh pertama 2022, total pembiayaan bermasalah berdasarkan rupiah mencapai Rp 10,69 triliun paling banyak berasal dari sektor perindustrian mencapai Rp 5,3 triliun dan pertanian dan perburuan Rp 2,44 triliun. 

Sedangkan, total pembiayaan bermasalah berdasarkan dolar Amerika Serikat mencapai Rp 8,58 triliun. Paling banyak dari sektor perindustrian Rp 5,93 triliun dan pertambangan Rp 1,33 triliun. Sehingga secara total jumlah pembiayaan bermasalah mencapai Rp 19,28 triliun. 


Baca Juga: LPEI Perkuat Kolaborasi dengan Standard Chartered untuk Mendorong Ekspor Nasional

Guna menekan pembiayaan bermasalah, Direktur Eksekutif LPEI Rijani Tirtoso menyatakan melakukan penyelesaian debitur bermasalah. LPEI melakukan penagihan maupun penjualan jaminan. 

“Serta pemantauan portfolio pembiayaan baik dari sisi kualitas maupun konsentrasi, yang dilengkapi pemantauan early warning atas indikasi hal yang berpotensi mempengaruhi kondisi debitur,” ujar Rijani kepada KONTAN, Senin (5/12). 

Seiring dengan itu, LPEI akan memperkuat aset dengan mengoptimalisasikan anak perusahaan guna membantu LPEI melakukan restrukturisasi dan hapus buku. Lalu, memperbaiki tata kelola yang tercermin dari peningkatan Good Corporate Governance (GCG) index. 

“Lalu pengkinian budaya lembaga,  serta penguatan teknologi dan Management Information System (MIS) untuk menunjang pertumbuhan bisnis. Kami juga secara konsisten menyempurnakan proses pembiayaan sejak penentuan pipeline/target market hingga proses pemantauan berkala atas debitur,” tambahnya. 

Agar tak mengulangi kesalahan yang sama, ia menyatakan akan fokus pada pembiayaan terhadap debitur dengan justifikasi ekspor sesuai mandat. LPEI akan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian pembiayaan.

Kendati demikian, ia memastikan akan melanjutkan penugasan dalam mendukung pembiayaan berbasis ekspor. Ia menyatakan per September 2022, pembiayaan tumbuh 2,8% sejak awal tahun, asuransi own retention meningkat 199% sejak awal tahun ini dan penjaminan komersial meningkat 3% sejak awal tahun. 

“Pada tahun mendatang, LPEI akan medorong penguatan ekosistem ekspor melalui kemitraan dan kolaborasi dalam rangka meningkatkan jangkauan, layanan, dan menyesuaikan produk untuk UKM berorientasi ekspor. Kami akan membangun platform digital hub terintegrasi sebagai pusat informasi, edukasi, dan asistensi produk dan jasa ekosistem ekspor Indonesia,” tambahnya. 

Baca Juga: LPEI Hadirkan Fasilitas Asuransi Trade Credit Bagi Eksportir

Adapun Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengakui LPEI memang dibentuk berdasarkan undang-undang (UU) untuk memberikan pembiayaan berbasis ekspor. Sehingga, ketika kinerja ekspor membaik, harusnya LPEI juga mendapatkan sentimen positif. 

“NPL yang tinggi ini bisa terjadi karena kurangnya kehati-hatian penyaluran pembiayaan. LPEI yang merupakan Eximbank Indonesia menjalankan bisnis selayaknya bank, harusnya bisa mempertahankan NPF di bawah 5%,” ujar Amin. 

Terlebih, dengan penugasan khusus tadi, LPEI menjalankan bisnis yang terbilang monopoli. Berbeda dengan bank lain seperti BNI dan Mandiri yang memiliki pembiayaan berbasis ekspor tapi tidak diwajibkan. 

Dalam jangka pendek, Amin menyarankan agar LPEI bisa melakukan restrukturisasi pembiayaan bermasalah dan melakukan mitigasi. 

Sedangkan untuk jangka panjang, LPEI harus menyalurkan pembiayaan secara prudential, karena selama ekspor tumbuh maka bisnisnya juga akan meningkat. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi