KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Peningkatan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) perlu menjadi perhatian khusus pemerintah agar lebih berhati-hati dalam pengelolaan fiskal. Pasalnya, kondisi tersebut berpotensi mengancam stabilitas ekonomi jika tidak diimbangi dengan strategi pengelolaan utang yang lebih efektif dan penguatan dari sisi penerimaan negara. Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), posisi utang pemerintah meningkat menjadi Rp 8.680,13 triliun per akhir November 2024.
Utang pemerintah tersebut bertambah Rp 119,78 triliun atau meningkat 1,39% dibandingkan posisi utang akhir Oktober 2024 yang hanya Rp 8.560,35 triliun. Sementara itu, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB juga hampir menyentuh di level pandemi. Tercatat, per akhir November 2024, rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 39,20%.
Baca Juga: Wamenkeu Thomas Djiwandono Ungkap Peluang di Tengah Tekanan Ekonomi Global Ekonom sekaligus Ketua Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo menyampaikan kekhawatirannya terkait rasio utang negara yang telah mencapai level 39% PDB. Ia menekankan pentingnya langkah antisipasi yang signifikan untuk menghadapi tantangan utang pemerintah. Drajad menilai, perlu adanya perubahan mendasar dalam pengelolaan rezim utang dan pembayaran utang pemerintah. Menurutnya, kunci utama untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan meningkatkan penerimaan negara secara signifikan. "Kita perlu perubahan yang cukup signifikan untuk rezim utang dan pembayaran utang-utang kita dan kuncinya itu adalah di peningkatan penerimaan negara. Itu sumber-sumber yang ada harus di galih," ujar Drajad saat ditemui di Jakarta, Rabu (18/12). Ia mencontohkan, potensi besar penerimaan negara bukan pajak (PNBP)ada dari sektot teknologi dan komunikasi. Dari sektor ini saja, Drajad memperkirakan negara dapat memperoleh pendapatan tambahan sekitar Rp 8 triliun hingga Rp 20 triliun. Ia juga menyoroti beban berat pembayaran utang negara yang kini berada dalam situasi mengkhawatirkan. Drajad menegaskan, rasio pembayaran pokok dan bunga utang terhadap penerimaan negara telah mencapai level yang sangat tinggi. "Kita sebenarnya ada beberapa sumber penerimaan negara yang sudah kita identifikasikan, tinggal bagaimana hari ini bisa ditindaklanjuti," katanya. Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono menyampaikan bahwa realisasi pembiayaan utang atau penarikan utang baru mencapai Rp 483,6 triliun hingga akhir November 2024. Realisasi ini setara 74,6% dari target penarikan utang tahun ini yang sebesar Rp 648,1 triliun. Dari total tersebut, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto sebesar Rp 437,2 triliun. Ini mencapai 65,6% terhadap APBN atau tumbuh tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 292,5 triliun. Sementara itu, realisasi utang yang berasal dari pinjaman (neto) mencapai Rp 46,4 triliun atau 252,9% terhadap APBN. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun lalu sebesar Rp 40,9 triliun. "Realisasi pembiayaan hingga November ini menunjukkan pemerintah terus hati-hati dalam mengelola pembiayaan dengan mempertimbangkan outlook defisit APBN, kondisi likuditas pemerintah serta dinamika pasar keuangan," ujar Thomas dalam konferensi pers APBN Kita, Jumat (8/11). Di sisi lain, pembiayaan non utang tercatat sebesar Rp 54,8 triliun hingga akhir November 2024. Angka ini juga lebih tinggi jika dibandingkan pembiayaan non utang tahun lalu yang sebesar Rp 49,2 triliun. Dengan begitu, realisasi pembiayaan anggaran mencapai Rp 428,8 triliun. "Upaya untuk menjaga pencapaian target pembiayaan tetap pada jalurnya dilakukan dengan memastikan cost of fund tetap efisien dan risiko yang terkendali," katanya.
Baca Juga: Bank Dunia Proyeksikan Ekonomi Indonesia Tumbuh 5,1% di 2025 Sementara itu, Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia akan meningkat tahun depan, namun kemudian berangsur turun hingga tahun 2029. Berdasarkan data General Government Gross Debt dalam Laporan IMF, utang Indonesia pada 2025 diperkirakan mencapai 40,7% PDB, kemudian sedikit turun pada 2026 menjadi 40,6% PDB.
Kemudian, pada tahun 2027, utang Indonesia diperkirakan turun lagi menjadi 40,3% PDB, tahun 2028 sebesar 40,0% PDB dan sebesar 39,6% PDB pada 2029.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat