Rasio utang pemerintah meningkat



JAKARTA. Nilai utang pemerintah terus bertambah. Data Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat sampai Juni 2017, utang pemerintah pusat telah mencapai Rp 3.706,52 triliun. Jumlah itu naik Rp 34,19 triliun dari posisi akhir Mei 2017 yang sebesar Rp 3.672,33 triliun.

Utang pemerintah pusat tersebut terdiri dari 80,4% berupa Surat Utang Negara alias Surat Berharga Negara (SBN). Sementara yang berbentuk pinjaman baik bilateral maupun multilateral mencapai sebesar Rp 727,02 triliun atau 19,6% dari total utang. Selama bulan Juni 2017, utang (neto) pemerintah bertambah Rp 34,19 triliun. Penambahan itu berasal dari penerbitan SBN (neto) sebesar Rp 35,77 triliun dan pelunasan pinjaman (neto) Rp 1,59 triliun.

"Tambahan pembiayaan dari utang memungkinkan kenaikan belanja produktif di bidang pendidikan, infrastruktur, kesehatan, transfer ke daerah dan dana desa, serta belanja sosial," dikutip dari keterangan resmi Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Senin (24/7).


Walau naik, namun pemerintah yakin utangnya masih dalam level aman. Dengan asumsi nilai Produk Domestik Bruto (PDB) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 sebesar Rp 13.717 triliun, maka rasio utang pemerintah pusat terhadap PDB hingga akhir Juni 2017 mencapai 27,02% PDB.

Dalam APBN 2017, rasio utang pemerintah pusat terhadap PDB hingga akhir tahun 2017 diperkirakan akan mencapai sebesar 28,1%. Posisi ini masih di bawah rasio utang Filipina, Thailand, Malaysia, Vietnam, yang di atas 40% dari produk domestik bruto-nya.

Direktur Strategi dan Portofolio Utang Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemkeu Schneider Siahaan sebelumnya mengatakan, pemerintah masih akan menarik utang untuk membiayai proyek infrastruktur. "Kami mau ekspansi, kalau hanya mengandalkan pajak, sampai kita tua nanti baru bisa dibangun. Selain kelamaan, cost-nya juga semakin mahal," ujarnya.

Untuk itu pada kuartal III-2017, pemerintah mentargetkan jumlah utang indikatif melalui penerbitan surat utang sebesar Rp 147,5 triliun. Lelang SUN direncanakan sebanyak enam frekuensi sedangkan lelang utang syariah (SBSN) dalam tujuh frekuensi. Total indikatif ini sudah termasuk penerbitan surat pembiayaan negara (SPN) 3 bulan dan 6 bulan masing-masing Rp 5 triliun dan Rp 2 triliun di setiap lelang.

Dengan target itu, maka Schneider bilang, rasio utang pemerintah terhadap PDB hingga akhir tahun akan lebih tinggi dari target APBN 2017 yang sebesar 28,1% PDB. "Akhir tahun rasio utang di level 28,9% terhadap PDB," kata Schneider. Namun dia menyakinkan, rasio utang pemerintah masih aman.

Tersedot utang

Kepala Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness Eric Sugandi menilai, rasio utang pemerintah terhadap PDB hingga akhir tahun masih bisa ditekan. Caranya, pertama, melalui pembayaran utang untuk mengurangi outstanding utang. Kedua, menaikkan nominal PDB. Ketiga, pembayaran utang dan menaikkan nominal PDB. "Rasio masih bisa dikatakan aman. Tetapi bukan berarti ke depan akan selalu aman karena yang diukur kemampuan membayar utang dengan kemampuan produksi nasional. Kalau (ekonomi) kita sakit, belum tentu aman," kata Eric kepada KONTAN, Senin (24/7).

Menurut Eric, hal yang harus di waspadai terkait utang pemerintah adalah porsi utang, sebab saat ini kepemilikan asing yang hampir mencapai 40% dari total SBN. Dengan kepemilikan asing yang tinggi, maka ada risiko mereka keluar dari pasar keuangan dalam negeri. "Itu akan menimbulkan tekanan," katanya.

Oleh karena itu Eric menyarankan, pemerintah tetap mempertimbangkan keseimbangan utang. Apalagi mendekati pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019 mendatang. Saat ini biasanya pemerintah cenderung melakukan akselerasi pengeluaran sehingga pada akhirnya membebani defisit anggaran. Pemerintah juga harus bisa memastikan penarikan utang untuk kegiatan produktif.

"Sebab, selama tiga tahun terakhir harga komoditas tertekan. Bukan berarti ekonomi jelek, hanya saja ekonomi melambat. Ya artinya pemerintah boleh utang tapi tetap dijaga," kata Eric.

Ekonom Institute for Developtmen Economic and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara melihat adanya dua risiko jika pemerintah terlalu bernafsu menambah utang. Pertama, beban utang jatuh tempo pada 2018-2019 sudah sangat besar yaitu mencapai Rp 810 triliun. Jumlah itu belum menghitung bunga utang dari penerbitan SBN tahun ini. "Jadi APBN-nya terancam terkuras untuk cicilan utang," kata Bhima.

Kedua, ada kekhawatiran crowding out. Walhasil, likuiditas jasa keuangan tersedot untuk pembelian obligasi pemerintah. Imbasnya adalah, bisa memicu perang suku bunga kredit perbankan.

Oleh karena itu, Bhima menyarankan, agar pembangunan infrastruktur ke depan tak lagi banyak berasal dari utang. Sebagai penggantinya, kebijakan pembangunan infrastruktur dengan skema kerjasama pemerintah dan badan usaha harus dipercepat agar tak membebani APBN.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini