KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga Pemeringkat asal Jepang yaitu Japan Rating Credit (JRC) Agency baru saja mengerek Sovereign Credit Rating (SCR) Republik Indonesia dari BBB-/Outlook Positif menjadi BBB/Outlook Stabil pada 8 Februari 2018. Atsushi Matsuda, General Manager of International Rating Departement JCR dalam keterangan resminya mengatakan, ada tiga alasan JCR meningkatkan peringkat kredit Indonesia. Pertama, soal iklim investasi yang mulai bergairah akibat implementasi rentetan Paket Kebijakan Ekonomi. Faedahnya, menurut Atsushi, terakumulasi dari mulai meningkatnya investasi dalam negeri di bidang non-komoditas. Serta diiringi akselerasi Foreign Direct Investment (FDI) yang makin semarak.
"Harga batubara yang terus ambruk sejak 2011 membuat investasi di bidang sumber daya mineral Indonesia stagnan, sebab Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya mineral seperti batubara. Kelimabelas Paket Kebijakan Ekonomi yang diluncurkan pemerintah sejak September 2015 telah memberikan peningkatan yang signifikan terhadap iklim investasi Industri," tulis Atsushi dalam keterangan resminya. Kedua, ihwal gencarnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah. JCR mencatat 245 Proyek Strategis Nasional (PSN) memiliki nilai investasi US$ 327,2 miliar atau kira-kira setara 30% PDB Indonesia per-Desember 2017 dapat jadi momentum pendorong tumbuh kembang ekonomi nasional. "Pemerintah Indonesia mengharapkan kebutuhan pendanaan proyek infrastruktur dapat dipenuhi oleh pihak swasta. JCR akan terus mengamati apakah pendanaan proyek infrastruktur oleh swasta terbesar dapat berjalan sebagaimana direncanakan," lanjutnya. Sementara ihwal ketiga adalah soal kebijakan pembatasan utang luar negeri oleh swasta dianggap JCR dapat meningkatkan resiliensi atawa kemampuan beradaptasi Indonesia terhadap gejolak ekternal. Sedangkan dari kondisi fiskal, JCR juga mencatat pemotongan belanja pemerintah terhadap subsidi energi dan meningkatkan belanja infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan telah sukses mengurangi defisit fiskal. "Terakhir, Indonesia memperkirakan baik defisit fiskal primer, dan defisit fiskal keseluruhan masing-masing berkurang pada 2017 dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 0,87%, dan 2,46% dari PDB. Pemerintah Indonesia juga menargetkan nilai tersebut akan berubah surplus pada 2020," jelas Atsushi. Utang pemerintah pun, dinilai JCR cukup stabil lantaran pada akhir 2017 lalu sudah berada di angka 28% dari PDB, dan ditargetkan terus menurun. Meski demikian, JCR masih mewaspadai sektor penerimaan yang masih berada di level 12% dari PDB. "Sektor penerimaan Indonesia merupakan salah satu yang terendah dari negera yang mendapat rating BBB oleh JCR. Kami akan terus memperhatikan program
tax amnesty sebagai program peningkatan pendapatan Indonesia," sambungnya. Rating Fitch dan Moody's Soal pendapatan negara ini juga yang turut jadi titik berat oleh lembaga pemeringkat lainnya yaitu Fitch. Desember, Fitch turut pula meningkatkan rating kredit Indonesia dari BBB- menjadi BBB dengan
outlook stable. Dalam laporannya, kenaikan rating ini, diberikan Fitch lantaran kokohnya kondisi makroekonomi Indonesia terhadap guncangan eksternal yang telah terus diperkuat dalam beberapa tahun terakhir. Sebab, kebijakan makroekonomi secara konsisten diarahkan untuk menjaga stabilitas. "Kebijakan nilai tukar yang lebih fleksibel sejak pertengahan 2013 telah membantu penyangga cadangan devisa membengkak menjadi US$ 126 miliar pada November 2017," tulis Primary Analyst Fitch Ratings Thomas Rookmaaker dalam laporan yang dikutip KONTAN, Kamis (21/12). Adapun Fitch juga menyoroti reformasi struktural yang dilakukan pemerintah guna memperbaiki lingkungan bisnis. Pelaksanaan langkah-langkah untuk mengurangi persyaratan prosedural dan izin bisnis telah meningkatkan secara tajam posisi Indonesia dalam peringkat
ease of doing business Bank Dunia di 72 dari 190 negara, naik 37 level dalam dua tahun. "Efeknya (FDI) meningkat dalam kuartal terakhir, sampai-sampai Fitch memperkirakan FDI bersih untuk menutupi defisit transaksi berjalan selama beberapa tahun ke depan," sambung Thomas. Lembaga pemeringkat lainnya adalah Moody's. Meskipun belum merilis peringkat terbaru kredit Indonesia, Moody's telah memberikan sinyal positif kenaikan peringkat melalui riset soal profil kredit Indonesia yang terbit Selasa (6/2) lalu. Tahun ini, Moody’s akan memperhatikan kerentanan eksternal Indonesia. Jika ingin peringkatnya naik, Indonesia disarankan melakukan peningkatan kelembagaan dan daya tahan terhadap perubahan dana asing. "Salah satu indikasi positif adalah pengurangan ketergantungan pemerintah terhadap utang luar negeri," demikian salah satu poin di riset Moody’s. Moody's menyoroti utang luar negeri Indonesia, yang belakangan meningkat tajam. Hingga November 2017, total utang luar negeri mencapai US$ 347,29 miliar atau bertambah sebanyak US$ 27,26 miliar sejak akhir tahun 2016. Penambahan ULN terbesar berasal dari pemerintah, yang sudah berjumlah US$ 173,16 miliar, meningkat US$ 18,29 miliar.
Moody's menyatakan, untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri, pemerintah harus meningkatkan pendapatan domestik. Basis pajak harus diperluas agar penerimaan kian besar. Laporan Moody’s juga menganalisa, pendapatan pemerintah berpotensi meningkat pada tahun ini. Ini terdorong oleh pertumbuhan ekonomi yang diprediksi sekitar 5,2%-5,3%
year-on-year. Setahun lalu, tepatnya 8 Februari 2017, Moodys memperbaiki
outlook sovereign credit rating Indonesia dari stable menjadi positif dan mengafirmasi rating Indonesia, yaitu Baa3. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie