JAKARTA. Standard & Poor's (S&P) akhirnya menaikkan peringkat surat utang Indonesia menjadi layak investasi atau
investment grade pada Jumat (19/5). Dalam situs resminya, S&P mengerek rating surat utang rupiah dan valuta asing bertenor jangka panjang (
long term) menjadi BBB-, dari sebelumnya BB+. S&P mempertahankan
outlook positif. Sedangkan, rating surat utang jangka pendek atau
short term direvisi naik juga menjadi A-3. Dalam pandangannya, S&P melihat, Indonesia mampu mengurangi risiko fiskal. Menurut S&P, fokus pemerintah atas bujet yang lebih realistis telah mengurangi risiko
shortfall (penerimaan pajak di bawah target) memperlebar defisit bujet saat ini.
S&P menyadari, pengumpulan pajak di tengah penurunan harga komoditas yang menjadi andalan penerimaan negara, menjadi tantangan Indonesia. Tapi, S&P berekspektasi, pemerintah RI menjaga defisit bujet tak melebihi 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan pengendalian anggaran belanja dan subsidi listrik tahun ini, S&P memperkirakan, Indonesia akan tetap menjaga rasio utang 2,5% dari PDB. Ekonom PT Bank Permata, Josua Pardede mengatakan, ke depan, setelah di-
uprgade investasi akan semakin besar, baik di obligasi maupun di berbagai sektor lainnya di tengah tantangan global “Ini salah satu dorongan bagi pertumbuhan ekonomi kita, yang harus lebih besar ditopang oleh investasi ketimbang konsumsi rumah tangga, karena kalau ditopang dengan investasi, pertumbuhan akan lebih sustain,” jelasnya, Jumat (19/5). Josua bilang, kenaikan rating ini sudah sesuai dengan ekspektasi. Ia menilai, S&P sudah selayaknya
investment grade Indonesia ditingkatkan karena beberapa faktor. Faktor tersebut di antaranya beberapa tahun ini fiskal semakin
manageable dan semakin solid, Defisit anggaran bisa terjaga 3% di bawah GDP. Penerimaan pajak di kuartal I ini juga tumbuh 18% dari periode sama tahun lalu. "Kami lihat juga cadev meningkat sampai dengan April 2017 sebesar US$ 123 miliar atau tertinggi dalam lima tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi juga masih bisa cukup tinggi di atas 5% dibanding negara lainnya yang masih struggling,” papar Josua. Menurut Josua, efek dari
investment grade ini sudah terlihat dari menguatnya rupiah. Di mana mata uang Garuda berhasil menguat 0,23% menjadi Rp 13.324 per dollar setelah pada hari sebelumnya ditutup pada level Rp 13.356 per dollar AS. Adapun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menorehkan rekor tertinggi sepanjang masa pada penutupan perdagangan Jumat (19/5) dengan terbang 2,59% atau 146,433 poin ke level 5.791,884.
“Jadi kami harapkan investasi akan semakin tergaet lagi, potensi-potensi investasi asing yang belum masuk, semoga bisa masuk. Ini juga bagaimana Indonesia menarik
real money investor dalam hal ini FDI, karena
balance of payment kita kuartal pertama surplus, tetapi FDI-nya flat,” jelasnya. Kemudian, kata Josua, utang luar negeri pemerintah juga bisa ditekan mengingat utang luar negeri jangka panjang masih melambat, tetapi jangka pendeknya memang masih tumbuh. “Kami harap rupiah bisa terapresiasi dari investor asing yang nantinya utang bisa ditekan. Tapi di satu sisi saat penguatan rupiah, ekspor kita akan menurun secara relatif. Tetapi kami harapkan bisa
well coordinated,” ucapnya Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini