Rating upgrade dan prospek perbankan



Di tengah volatilitas pasar keuangan dan perlambatan ekonomi global, Standard & Poor's (S&P) menaikkan peringkat kredit sejumlah bank nasional. Peringkat kredit jangka panjang Bank Mandiri dan BNI dinaikkan dari BB+ menjadi BBB-, sementara peringkat kredit jangka pendek Bank Mandiri dan BNI dinaikkan dari B menjadi A-3.

Sebelumnya, S&P menaikkan rating Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia dari BBB-/A-3 menjadi BBB/A-2 dengan outlook stabil serta mempertahankan rating BRI pada BBB-/A-3. Sehingga secara umum tiga bank BUMN terbesar, yakni Bank Mandiri, BRI dan BNI, memiliki rating yang sama, yaitu BBB-.

Terdapat beberapa catatan positif dari S&P terkait prospek ekonomi dan perbankan di Indonesia yang perlu investor cermati.


Pertama, S&P menaikkan Banking Industry Country Risk Assessment (BICRA) dari grup '7' menjadi grup '6' karena meningkatnya prospek pertumbuhan ekonomi makro secara keseluruhan yang didukung oleh kebijakan ekonomi yang kondusif dan konstruktif.

Kedua, secara umum kondisi ekonomi Indonesia lebih baik dibandingkan beberapa negara lain yang memiliki peringkat sama. Pertumbuhan PDB per kapita riil tercatat sebesar 4,1%, di atas rata-rata negara yang memiliki tingkat upah sama sebesar 2,2%.

Ketiga, perbankan Indonesia, terutama bank BUMN besar (Bank Mandiri, BRI dan BNI) memiliki posisi lebih baik pada kondisi ekonomi saat ini yang terus membaik, terutama sejalan dengan percepatan pembangunan infrastruktur oleh pemerintah.

Secara umum, prospek perbankan di Indonesia memang diharapkan lebih baik pada tahun ini meskipun tekanan global masih besar.

Ada beberapa faktor yang mendukung hal tersebut. Pertama, kebijakan makro pemerintah dan BI yang relatif kondusif. Terakhir, BI memangkas rasio Giro Wajib Minimum (GWM) denominasi rupiah sebesar 50 bps kepada perbankan per 1 Juli untuk mendorong likuiditas.

Hitungan kami, terdapat potensi kelonggaran likuiditas antara Rp 25 triliun-Rp 30 triliun yang bisa disalurkan sebagai kredit. Kebijakan ini sudah ditunggu perbankan di tengah likuiditas yang ketat tahun ini.

Kedua, siklus kenaikan suku bunga acuan sudah berakhir tahun lalu dan berganti dengan kebijakan yang akomodatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut kami, pemangkasan suku bunga acuan BI mungkin dilakukan di awal kuartal III (lebih awal dari asumsi kami sebelumnya pemangkasan di kuartal IV) sebagai respons arah kebijakan Bank Sentral AS, The Fed, yang lebih dovish ke depan. Ketiga, kualitas aset yang lebih baik tahun ini.

Ke depan, sektor perbankan Indonesia relatif lebih solid dibandingkan kawasan. Profitabilitas bank di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan bank di negara ASEAN. ROA bank di Indonesia hingga Maret 2019 tercatat 2,45%, lebih tinggi dibandingkan Thailand (1,24%), Filipina (1,1%), Singapura (1,03%) dan Malaysia (1,02%).

Sementara rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) perbankan di Indonesia lebih tinggi. Pada periode yang sama, CAR perbankan Indonesia tercatat di level 23,4%, lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia (17,1%), Thailand (18,3%), Filipina (15,4%), dan Singapura (16,5%). CAR secara umum juga masih tinggi di saat implementasi IFRS 9 mulai awal tahun 2020.

Peluang pertumbuhan bagi bank di Indonesia masih besar. Saat ini penetrasi perbankan Indonesia lebih rendah dibandingkan negara ASEAN, yang menunjukkan ruang tumbuh masih tinggi. Hal ini terlihat dari rasio kredit dan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan terhadap PDB Indonesia hingga Maret 35,7% dan 37,9%, lebih rendah dibandingkan Singapura (134,6% dan 125,8%), Malaysia (111,9% dan 128,1%), Thailand (91,5% dan 83,3%) dan Filipina (45,7% dan 72,5%). Penguasaan teknologi digital yang lebih baik diharapkan mendorong penetrasi kredit dan DPK.

Kondisi sektor perbankan yang relatif stabil tentu masih perlu dukungan pemerintah dan otoritas moneter. Selama ini koordinasi dan konsistensi kebijakan sangat mendukung pertumbuhan kredit. Namun terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan agar perbankan semakin resilience di tengah tantangan perlambatan ekonomi global.

Pertama, percepatan belanja pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung sektor ritel yang menjadi salah satu motor pertumbuhan kredit perbankan. Di sisi lain, belanja yang lebih awal juga akan mengurangi tekanan likuiditas.

Kedua, tetap konsisten untuk mempercepat transformasi struktural agar pilihan sektor yang dapat disalurkan kredit menjadi jauh lebih beragam, terutama di sektor manufaktur. Saat ini, langkah pemerintah untuk terus meningkatkan kualitas infrastruktur Indonesia juga sudah tepat.

Ketiga, meningkatkan investasi yang masuk dengan menjaga koordinasi aturan terkait investasi di tingkat Pusat dan Daerah. Investasi yang masuk akan mendorong peluang pertumbuhan kredit lebih baik lagi ke depan.♦

Andry Asmoro Chief Economist Bank Mandiri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi