JAKARTA. Rencana Bank Indonesia (BI) untuk mengatur Loan to Value (LTV) kredit sektor pertanian mendapat sambutan positif di perbankan. Buktinya, meski belum diterapkan, sudah ada bank yang menerapkan aturan tersebut. Alasannya karena sektor pertanian rentan dengan gejolak harga komoditas global yang cenderung volatile. Dengan aturan tersebut, diharapkan bank dapat meminimalisir potensi kredit macet. Salah satu bank yang sudah menerapkan LTV 30% adalah PT Bank Negara Indonesia Tbk (
BBNI). Bank milik pemerintah ini mengaku sudah memberlakukan LTV bagi kredit korporasi, termasuk pertanian.
"Sejauh ini kami sudah sangat konservatif. LTV sudah tinggi, minimum selalu 30%," terang Direktur Business Banking BNI Krishna R Suparto, kepada
KONTAN Selasa, (2/4). Ia menyebut, ada bagian manajemen risiko yang mengukur sejauh mana konsentrasi risiko dan melihat apabila industri sudah jenuh. Pengukuran tersebut bernama
loan exposure limit. Di situ, BNI melihat seluruh portfolio. Misalnya sisi makro, prospek ke depan, rencana pertumbuhan ekonomi Indonesia, dan lain-lain. Kemudian,
loan exposure limit tersebut diterjemahkan sehingga menjadi arahan strategis BNI. Andalkan kredit investasi BNI memiliki 8 sektor unggulan di korporasi. Misalnya agribisnis, minyak dan gas, konstruksi, ritel, komunikasi, transportasi. Krishna mengaku, sejauh ini
exposure limit di masing-masing di sektor industri masih sangat baik. "Penyebaran risiko kami masih sangat rendah," ujarnya. Meskipun kredit tersebut dibatasi, Krishna mengklaim, sebenarnya risiko kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) di sektor agribisnis maupun minyak dan gas di BNI hampir tidak ada. NPL korporasi pun tercatat rendah dengan
gross 1,5% dan net di bawah 1%. Ia menilai, yang dikhawatirkan BI yaitu bila bank dan lembaga keuangan lain yang portfolio risikonya berkonsentrasi di kelapa sawit atau tambang seperti batubara. Sedangkan, BNI belum memiliki kredit di batubara. "Kami belum mengerti," sebutnya.
Khrisna mengatakan bahwa porsi kredit agribisnis atau pertanian BNI tidak lebih dari 10% terhadap korporasi. Kemudian, sektor minyak dan gas juga memiliki porsi yang masih kecil. Dari total kredit korporasi, sebagian besar masih berporsi pada kredit modal kerja sebesar 65% yakni Rp 46,9 triliun dan investasi 35% yaitu Rp 25,2 triliun. "Karena kredit modal kerja lebih produktif. Kami mau yang sudah menghasilkan
cash flow," sebut Krishna. Pada 2012, kredit korporasi BNI mencapai Rp 72,2 triliun. Di tahun ini, BNI berharap kredit korporasinya mampu tumbuh 20% menjadi Rp 86,6 triliun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: