KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Realisasi belanja pemerintah untuk subsidi kian membengkak. Hingga November, pemerintah telah menggelontorkan Rp 182,7 triliun atau 116,9% melampaui pagu APBN 2018 sebesar Rp 156,2 triliun. Lonjakan anggaran subsidi tersebut disebabkan oleh realisasi subsidi energi yang meningkat. Menurut paparan Menteri Sri Mulyani, Kamis (6/12) lalu, realisasi subsidi energi telah mencapai Rp 130,4 triliun atau tumbuh 66,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Realisasi subsidi energi tersebut melampaui 138% pagu dalam APBN. "Kenaikan subsidi energi, khususnya subsidi BBM, seperti yang sudah sempat disampaikan beberapa kali , dikarenakan perubahan kebijakan subsidi solar dari sebelumnya Rp 500 per liter menjadi Rp 2.000 per liter," ujar Sri Mulyani.
Kenaikan harga minyak mentah dunia, lanjut dia, membuat pemerintah mengambil keputusan mengerek besaran subsidi solar sehingga berdampak pada postur belanja dalam APBN. Awal tahun, asumsi harga minyak mentah hanya US$ 48 per barel. Nyatanya, harga minyak sempat menanjak ke level US$ 80 per barel. "Hitungan kami, rata-rata harga minyak setahun penuh ini kemungkinan sekitar US$ 68 per barel," pungkasnya. Lebih rinci, realisasi subsidi energi terdiri dari subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan LPG, serta subsidi listrik. Per November, subsidi BBM dan LPG mencapai Rp 84,3 triliun atau 179,8% dari pagu anggaran yang hanya Rp 46,9 triliun. Sementara, subsidi listrik sebesar Rp 46,1 triliun atau 96,8% dari pagu yaitu Rp 47,7 triliun. Deviasi asumsi harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah yang terjadi sepanjang tahun ini menjadi perhitungan pemerintah dalam menentukan outlook belanja subsidi energi hingga akhir tahun nanti. Berdasarkan paparan Sri Mulyani, realisasi subsidi energi hingga November tersebut baru memenuhi 83,1% dari outlook terkini pemerintah. Artinya, dalam hitungan Kontan, target belanja subsidi energi pada akhir tahun dipatok sekitar Rp 156,92 triliun. Sebelumnya, Direktur Jenderal Anggaran Kemkeu Askolani menyampaikan, outlook belanja subsidi di akhir tahun nanti Rp 163,5 triliun. Namun, proyeksi tersebut dibuat berdasarkan tinjauan tengah tahun di mana asumsi harga minyak rata-rata US$ 70 per barel. "Saya enggak bisa bilang lebih kecil, tapi angkanya bisa lebih kecil, bisa sama, bisa lebih besar. Yang pasti akan berubah dari outlook Rp 163 triliun itu tapi tidak banyak plus-minusnya," ujar Askolani.
Adapun, Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati sebelumnya menyatakan, pemerintah harus mampu mengantisipasi tren kenaikan harga minyak dunia agar dampak negatif perekonomian bisa diminimalisasi. "Jika antisipasi tidak memadai, tren kenaikan harga minyak bisa menjadi belenggu bagi upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi," katanya. Tahun depan, Indef memproyeksi harga minyak mentah dunia akan kembali melonjak pada level sekitar US$ 75 per barel. Sebab, aspek geopolitik masih terus menghangat di negara-negara penghasil minyak. Begitu pula dengan nilai tukar rupiah, Indef memproyeksi rata-rata nilai tukar pada 2019 sebesar Rp 15.250 per dollar AS. Meski fluktuasinya diperkirakan akan lebih rendah dibandingkan tahun ini, Enny tetap memperhitungkan risiko perang dagang dan kenaikan harga minyak mentah dunia yang berpotensi kembali menekan kurs rupiah. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie