Realisasi investasi 2018 diperkirakan Rp 730 triliun, ini kata ekonom ADB



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengestimasi realisasi investasi di tahun ini bisa mencapai Rp 730 triliun. Namun, angka tersebut masih di bawah target rencana strategi (renstra) BKPM 2015 - 2019 yang dipatok sebesar Rp 765 triliun.

Project Consultant Asian Development Bank (ADB) Eric Sugandi mengatakan, bila realisasi investasi di 2018 bisa mencapai Rp 730 triliun, maka angka tersebut sudah baik.

"Menurut saya, bila realisasi Rp 730 triliun, masih bisa dibilang lumayan; mengingat kondisi perekonomian saat ini yang masih tertekan," jelas Eric kepada Kontan.co.id, Rabu (31/10).


Eric pun melihat, perkiraan realisasi investasi di tahun ini tidak terlalu jauh berbeda dengan target yang ditetapkan dalam renstra atau hanya rendah sekitar 3,4%.

"Karena ini angka target, jika benar realisasinya di bawah angka target renstra, maka realisasi dampak investasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja akan berada di bawah yang ditetapkan renstra," tambah Eric.

Meski begitu, Eric pun mengingatkan jika target yang ditetapkan dalam renstra masih disusun berdasarkan asumsi yang mungkin kurang relevan dengan perkembangan perekonomian

Berdasarkan data BKPM, realisasi investasi selama periode kuartal III tahun ini sebesar Rp 173,8 triliun atau turun 1,6% dari kuartal III tahun lalu. Dari realisasi investasi tersebut, realisasi penanaman modal asing (PMA) sebesar Rp 89,1 triliun atau turun 20% dari kuartal III 2017.

Sementara, penanaman modal dalam negeri (PMDN) di kuartal III tahun ini justru meningkat sebesar 30,5% menjadi Rp 84,7 triliun dibandingkan tahun lalu.

Eric mengatakan, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan PMA. Pertama, adanya tren pengetatan suku bunga global yang menyebabkan biaya pinjaman di beberapa negara asal PMA meningkat.

Kedua, kondisi permintaan Indonesia yang belum pulih sepenuhnya, khususnya di semester I tahun ini ketika daya beli masyarakat masih tertekan.

Faktor politik pun menjadi salah satu faktor, dimana investor memilih wait and see menjelang pemilihan presiden di tahun mendatang. "Ini mengantisipasi risiko perubahan kebijakan jika terjadi pergantian rezim," kata Eric.

Faktor selanjutnya adalah kurs rupiah yang masih bergejolak dan cenderung melemah. Menurut Pieter, faktor ini menjadi pertimbangan bila PMA meminjam dana dari negara asalnya dalam mata uang negaranya, namun pendapatan usahanya dalam rupiah.

"Rupiah yang melemah berarti revenue mereka bisa berkurang dalam mata uang mereka dibandingkan jika rupiah tidak melemah," ujar Eric.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto