KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menargetkan investasi Rp 1.650 triliun di tahun depan. Target ini adalah penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA). Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Yuliot mengatakan, pemerintah telah menyusun sejumlah strategi.
Pertama, dilakukan perbaikan regulasi dan layanan investasi menjadi lebih mudah.
Kedua, pemerintah mengundang investasi besar hilirisasi untuk peningkatan nilai tambah didalam negeri.
Ketiga, pendalaman struktur investasi untuk masing-masing sektor usaha.
"
Keempat, perbaikan daya saing melalui insentif investasi sesuai dengan pelaksanaan implementasi Global Minimum Tax," kata Yuliot kepada Kontan.co.id.
Baca Juga: Kementerian PUPR Targetkan Pembangunan Tahap I IKN Nusantara Selesai pada 2024 Selain itu, pemerintah juga melakukan pengawalan dan fasilitasi pelaksanaan investasi. Dalam pencapaian target tersebut, Yuliot menambahkan ada beberapa sektor yang memang didorong. Diantaranya sektor ketahanan pangan dan energi, investasi manufaktur, pariwisata dan infrastruktur. Mengenai adanya pergantian kepemimpinan tahun depan, dia menegaskan takkan berpengaruh pada capaian realisasi investasi. Artinya pergantian kepemimpinan takkan membuat capaian menjadi melambat. "Kita sudah pengalaman setelah reformasi pergantian kepemimpinan nasional tidak begitu berpengaruh terhadap realisasi investasi," kata dia. Adapun realisasi di Indonesia dari Januari hingga September 2023 telah mencapai Rp 1.053 triliun. Dari total realisasi investasi, PMA memiliki porsi 52%. Sebagai informasi dalam Rencana Strategis (Renstra) BKPM 2020-2024, target investasi 2023 hanya sebesar Rp 1.099,8 triliun.
Baca Juga: Menilik Kinerja BUMN Karya di Tengah Upaya Restrukturisasi Utang Eddy Martono Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai pergantian kepemimpinan tahun depan tidak akan berpengaruh pada pengusaha sektor sawit utamanya dalam mengambil keputusan langkah investasi. Dia menjelaskan, pada sektor sawit kondisi ekonomi global justru akan menjadi pertimbangan bagi para pengusaha sektor ini. Pasalnya, Indonesia sebagai produsen dan juga konsumen sawit terbesar di dunia tetap harus melakukan ekspor terhadap produksi sawit dalam negeri. Eddy melanjutkan jika kondisi ekonomi global masih penuh ketidakpastian, hal tersebut menjadi pertimbangan utama bagi pengusaha untuk melakukan pengembangan bisnis ataupun investasi. "Apabila kondisi ekonomi global tidak menentu maka itu akan menjadi pertimbangan utama, karena itu masalah pasar jangan sampai nanti sudah investasi tetapi pasar tidak menyerap karena permintaan menurun karena kondisi global yang tidak kondusif," ujar Eddy.
Baca Juga: Sudah Sejauh Mana Upaya Restrukturisasi BUMN Karya? Oleh karenanya tahun depan para pengusaha sawit diperkirakan masih akan wait and see dalam menentukan langkah bisnis. Hal tersebut kembali ditegaskan lantaran kondisi ekonomi global yang masih penuh ketidakpastian. "Perang tidak tahu kapan selesainya justru ada perang baru di Timur Tengah. Juga kekuatiran terhadap ekonomi China yang di prediksi juga kurang baik, ini akan berpengaruh terhadap kondisi ekonomi global," kata Eddy. Mengenai kinerja sektor industri sawit, Eddy menggunakan tidak sebaik tahun lalu. Hal tersebut karena masalah harga yang turun. Tahun ini ekspor sektor sawit sampai dengan Oktober 2023 berkontribusi kepada devisa negara sebesar US$ 23,54 miliar. Eddy memproyeksikan tahun 2024 produksi sawit juga kemungkinkan hampir sama dengan tahun ini. Per Agustus 2023 produksi sawit mencapai 36,2 juta ton.
Baca Juga: Realisasi Komitmen Peminatan Investasi di IKN Capai Rp 41,4 Triliun Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan optimisme pada pertumbuhan ekonomi tahun depan. Hal tersebut berdasarkan pada kinerja ekonomi Indonesia serta situasi politik jelang pemilu 2024 yang dingin. Jokowi menyebut tahun 2024 menjadi tahun yang harus penuh dengan optimisme. Pasalnya Indonesia kata Jokowi memiliki modal untuk optimisme di 2024. Modal tersebut baik pada modal ekonomi maupun juga modal politik. Meski demikian, Jokowi mengingatkan pentingnya bekerja secara sinergis, konsisten kerja keras, serta kerja berkelanjutan antara pemerintah dan swasta. "Kesimpulan saya ekonomi outlook 2024, Indonesia sangat optimistis, optimisme karena melihat kinerja ekonomi kita dan karena situasi politik yang dingin jelang pemilu 2024," kata Jokowi dalam Outlook Perekonomian Indonesia, Jumat (22/12). Untuk kondisi politik, dia menilai saat ini masyarakat sudah dewasa dalam berpolitik. Hal ini berbeda dengan kondisi politik saat pemilu 2019 lalu.
Baca Juga: Realisasi Investasi Kawasan Ekonomi Khusus Capai Rp 167,2 Triliun Per Desember 2023 Oleh karenanya Jokowi mengatakan pengusaha tak perlu mengkhawatirkan adanya gejolak dengan masuknya tahun politik. "Saya tahu para pengusaha ini menunggu situasi politik. Ada juga yang deg-degan mendekati pemilu, terutama mendekati pilpres. Saya menegaskan tidak ada yang perlu dikhawatirkan," kata Jokowi. Menurutnya, jika suasana politik dilihat dari sosial media, lalu adanya debat antara politisi di media suasana jelang pilpres memang terkesan panas. Namun, jika melihat langsung ke masyarakat, Jokowi mengatakan suasana terlihat adem. Hal ini menggambarkan bahwa suasana politik jelang 2024 jauh berbeda dengan pilpres sebelumnya. "Kalau bapak ibu turun ke masyarakat, desa, daerah-daerah bapak ibu bisa merasakan rakyat itu santai-santai saja. Iya betul. Coba pergi ke desa, pergi ke daerah. Rakyat santai-santai saja. Sebetulnya politiknya juga adem-adem aja. Saya kira sangat jauh jika dibandingkan 2014 dan 2019. Sangat beda sekali. Artinya masyarakat kita sudah dewasa berpolitik, yang panas bisa segera didinginkan dan terbelah sedikit bisa bersatu kembali," jelasnya.
Baca Juga: Kisah Tanjung Kelayang Menyerap Investasi Rp 1,7 Triliun Pada modal ekonomi, sepanjang triwulan tahun 2023 ekonomi Indonesia masih tumbuh di kisaran 5%. Angka tersebut kata Jokowi jauh lebih tinggi daripada rata-rata global yang hanya tumbuh 2,9%. Selanjutnya Indonesia mampu menjaga inflasi di angka 2,86% atau jauh dari rata-rata inflasi global yakni 7,2%. Hal tersebut di tengah negara-negara lainnya kesulitan dalam menjaga inflasi.
"Indikator-indikator yang lain juga baik. Penyerapan tenaga kerja naik 4,5 juta orang dari Agustus 2022 ke Agustus 2023, PMI manufaktur di November 2023 masih berada di level ekspansif 51,7. Neraca perdagangan masih surplus, dan sudah surplus 43 bulan berturut-turut," paparnya. Kemudian Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada November 2023 juga berada di angka 123,6. Artinya masih ada keyakinan kuat terhadap kondisi ekonomi Indonesia. "Oleh sebab itu sekali lagi tidak ada alasan untuk pesimistis memasuki 2024. Saya masih optimistis pertumbuhan ekonomi kita masih berada di kisaran 5%," imbuhnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati