KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi penerimaan cukai hingga Oktober 2023 baru mencapai Rp 169,77 triliun. Realisasi ini baru mencapai 69,17% dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 sebesar Rp 245,45 triliun. Pos penerimaan ini juga turun 4,14% secara tahunan yang disumbang oleh penurunan pada hasil tembakau (HT) dan Etil Alkohol (EA). Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad memperkirakan, penerimaan cukai pada tahun ini tidak akan mencapai target.
Hal ini dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang masih lemah, serta maraknya fenomena
downtrading dan peredaran rokok ilegal.
Baca Juga: Penerimaan Cukai Rokok Oktober 2023 Turun 4,3% "Berat lah, berat (mencapai target), daya beli masyarakat lagi lemah," ujar Tauhid kepada Kontan.co.id, Selasa (28/11). Tauhid bilang, peningkatan tarif cukai tembakau akan berdampak kepada peningkatan harga produk tembakau, khususnya rokok. Oleh karena itu, peningkatan harga ini juga diikuti oleh peralihan konsumsi dari rokok golongan yang mahal ke rokok golongan di bawahnya yang lebih murah. Peralihan konsumsi tersebut berimbas pada penurunan jumlah produksi rokok golongan I, utamanya sigaret kretek mesin (SKM) maupun sigaret putih mesin (SPM) yang cukainya lebih tinggi. "Hipotesa saya adalah orang yang merokok itu gak akan berkurang, yang terjadi adalah mereka pindah golongan, dari golongan III pindah ke rokok ilegal atau rokok tanpa cukai. Sementara golongan I dan II bisa saja pindah ke rokok elektrik," jelasnya. Meski cukai berperan sebagai suatu alat untuk mengendalikan konsumsi terhadap suatu barang yang memiliki efek negatif, namun menurut Tauhid, bukan berarti penerimaan negara juga ikut turun . "Penerimaan negara kan harus jalan, paling bagus penerimaan naik, jumlah dari batang rokok yang dikonsumsi turun. Ini kan jumlahnya turun, penerimaannya juga ikut turun. Berarti gak sesuai dengan perkiraan," terang Tauhid. Untuk itu, Tauhid menyarankan pemerintah untuk menunda terlebih dahulu kenaikan tarif cukai rokok pada 2024 lantaran bisa berdampak kepada daya beli masyarakat dan juga penerimaan. Tak hanya itu, pemerintah juga perlu segera menerapkan ekstensifikasi cukai plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBKD) pada tahun depan. "Harus ada upaya lain. Misalnya saja penundaan kenaikan cukai tahun depan sampai kondisi ekonomi baik. Ekstensifikasi harus dijalankan, harus konsiten," imbuhnya. Senada, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatan, penerimaan cukai pada tahun ini tidak akan mencapai target yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan tingginya tarif cukai yang berakibat pada potensi penurunan produksi atau konsumsi. "Sepertinya sih sulit mencapai 100% (target) ya," kata Huda.
Baca Juga: Penerimaan Kepabeanan dan Cukai Capai Rp 220,8 Triliun Pada Oktober 2023 Kendati begitu, kata Huda, turunnya penerimaan cukai pada tahun ini memberikan sinyal positif bahwa fungsi cukai sudah tepat untuk mengendalikan konsumsi. "Jika memang tujuan utama dari penerimaan cukai rokok dan alkohol adalah pengendalian. Jadi kalau itu gak tercapai, menurut saya itu satu sinyal yang cukup positif," jelasnya. Berbeda, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah meyakini bahwa target penerimaan cukai pada tahun ini masih bisa tercapai dalam sisa dua bulan terakhir ini, terutama ditopang oleh penerimaan cukai rokok atau CHT.
"Kalau dilihat dari mekanismenya di mana pembelian cukai bisa dilakukan di muka oleh industri rokok, saya kira akan ada kenaikan penerimaan cukai pada dua bulan terakhir nanti," kata Piter. Sebagai informasi, penerimaan CHT mengalami kontraksi 4,35% YoY menjadi Rp 163,24 triliun atau 70,19% dari target. Sementara itu, penerimaan cukai EA juga turun 3,71% menjadi Rp 100,5 miliar atau 73,35% dari target. Namun, realisasi penerimaan cukai MMEA naik 0,66% YoY menjadi Rp 6,32 triliun, atau mencapai 72,91% dari target. Kenaikan ini didorong membaiknya industri pariwisata serta produksi dalam negeri yang kembali tumbuh 0,4% Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi