KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) kewalahan meredam penguatan dolar Amerika Serikat yang telah membenamkan posisi rupiah. Secara mengejutkan, Bank Sentral Indonesia mengerek suku bunga di Rapat Dewan Gubernur bulan Oktober 2023. Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps ke level 6% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Oktober 2023, Kamis (19/10). Tidak hanya itu, BI menyiapkan instrumen Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) di November mendatang.
Baca Juga: Menilik Arah Rupiah, IHSG & Rekomendasi Saham Pilihan Usai Suku Bunga BI Naik Langkah yang ditempuh Bank Indonesia sejalan dengan perkembangan dari pasar eksternal baru-baru ini yang membuat rupiah anjlok hingga dekati Rp 16.000. Mengutip Bloomberg, rupiah di pasar spot secara harian ditutup melemah 0,54% ke level Rp 15.815 per dolar AS, sementara rupiah jisdor BI melemah sebesar 0,68% ke level Rp 15.838 per dolar AS di perdagangan Kamis (19/10). Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C. Permana melihat, pelemahan rupiah utamanya karena adanya sentimen risk off di pasar global yang telah membuat Indeks Dolar AS lebih perkasa. Permintaan dolar terus meningkat akhir-akhir ini akibat perang Israel-Hamas mengalami eskalasi yang membuat banyak investor masuk ke dolar AS untuk mencari perlindungan, termasuk perpindahan dari US Treasury. “Kenaikan dolar AS telah memicu kondisi risk off di pasar yang secara bersamaan menyebabkan rupiah terdepresiasi. Sehingga, terjadi capital outflow yang kembali menekan rupiah,” jelas Fikri saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (19/10). Fikri berujar, langkah BI dilatarbelakangi pula oleh belum efektifnya instrumen maupun kebijakan yang telah diterbitkan BI sebelumnya seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan peraturan Devisa Hasil Ekspor (DHE). Di sisi lain, sekuat apapun upaya BI memang masih belum bisa membendung penguatan dari dolar AS. “Tentunya langkah menaikkan suku bunga ini merupakan pilihan terakhir bagi BI, ditambah juga dengan instrumen baru yakni SUVBI dan SVBI,” kata Fikri. Menurut Fikri, pelemahan rupiah akibat fundamental ekonomi tanah air yang cukup mengkhawatirkan. Neraca perdagangan walaupun masih bisa pertahankan surplus selama 41 bulan, namun nilainya tidak sebesar tahun lalu. Tekanan juga berasal daru Neraca transaksi berjalan yang defisit 0,5% pada kuartal kedua, serta adanya rencana pembayaran utang di akhir tahun turut merapuhkan fundamental rupiah. Fikri mengharapkan langkah preventif Bank Indonesia menjaga rupiah dengan cara mengerek suku bunga bisa menarik kembali minat investor asing. Tetapi perlu dipahami pula dolar AS tetap tangguh, menyusul perilaku investor global yang masih flight to safety ke mata uang paman sam tersebut. “Apapun dilakukan BI agak berat apabila investor global masih pilih dolar,” ungkapnya.
Baca Juga: Melemah Hari Ini, Begini Proyeksi IHSG dan Rekomendasi Saham Jumat (20/10) Fikri menuturkan,, BI semestinya berkoordinasi dengan fiskal untuk mengamankan posisi rupiah. Sebab, biasanya pembayaran utang memang lebih besar di kuartal IV. “Jadi mungkin surat utang pemerintah jangka pendek yang akan jatuh tempo khususnya dalam bentuk dolar AS bisa dialihkan dulu ke tenor panjang. Dengan demikian, tekanan pembayaran utang dalam bentuk dolar AS bisa diminimalisir,” imbuh Fikri. Selain itu, bisa melakukan intervensi dengan menaikkan yield SUN khususnya tenor 10 tahun supaya menarik lagi minat investor. Jika upaya-upaya Bank Indonesia dapat berjalan lancar dan diterima positif oleh pasar, Fikri memperkirakan rupiah bisa ditutup pada posisi Rp 15.481 per dolar AS di akhir tahun ini. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi