KONTAN.CO.ID - ZURICH. Kampanye penolakan produk kelapa sawit /
crude palm oil (CPO) dan turunannya dari Indonesia di Swiss terus berlanjut. Terbaru, usulan referendum penolakan produk kelapa sawit dan turunannya tersebut masuk ke Bundekanzlei, Mahkamah Konstitusi Swiss. Uniterre, lembaga swadaya masyarakat di Swiss berhasil menggalang suara untuk mengusulkan referendum penolakan produk kelapa sawit dan turunannya ke Mahkamah Konstitusi Swiss. Baca juga:
Youtuber paling laris Baim Wong juga handal berbisnis, ini daftarnya Pada Senin, 22 Juni 2020, Uniterre membawa 26 kotak yang berisi 59.200 tanda tangan permintaan referendum penolakan produk kelapa sawit dan turunannya. "Jika disetujui, setelah diteliti keabsahannya, tentunya, referendum penolakan produk kelapa sawit Indonesia, hanya soal waktu,“ tutur Mathias Stalder, sekretaris Uniterre, kepada Kompas.com . Mathias yakin, referendum, penentuan nasib pemasaran produk kelapa sawit, akan disetujui Makahmah Konstitusi Swiss. Seperti biasa, ritual penyerahan kotak berisi tanda tangan untuk meminta referendum, diisi orasi dari Uniterre. Isinya, bagaimana industri kelapa sawit menghancurkan lingkungan hidup. Sekaligus tentang keberuntungan yang diperoleh perusahaan besar. Ada puluhan wartawan, tidak terkecuali televisi Swiss dan kantor berita media arus utama. Baca juga:
Nissan Indonesia recall All New Livina, ini penyebabnya Ronja Jansen, Presiden Juso (Jung Sozialdemokratische Partei Schweiz), berharap referendum ini akan menjadi kenyataan. "Apa yang diakibatkan oleh Industri Kelapa Sawit sangat fatal. Lingkungan hidup di Indonesia rusak, dan juga pada akhirnya berpengaruh ke pemanasan global,“ katanya kepada Kompas.com. Ronja sendiri berada dalam dilema, karena induk partai politiknya, Sozialdemokratische Partei Schweiz (SP), ikut meneken kontrak persetujuan perdangan dengan Indonesia. "Tapi saya disini tidak mewakili SP,“ katanya. Meski dalam perjanjian kerja sama itu ditekankan tidak ada lagi perusakan lingkungan, Ronja ragu pemerintah Indonesia bisa bersikap tegas. "Bagaimana pengaturannya nanti. Dan bagaimana sanksinya kalau tidak ditepati perjanjiannya. Ini juga harus dipikirkan,“ imbuhnya. Menurut Ronja, perjanjian kerjasama antara Indonesia dan Swiss hanya menguntungkan industri besar. "Lebih banyak mudharatnya ketimbang keuntungannya. Saya berharap, referendum akan disetujui dan rakyat Swiss yang akan menentukan,“ katanya.
Editor: Adi Wikanto