Refleksi mahalnya penerbangan domestik



Ramadan kali ini nampaknya akan berbeda. Masyarakat dihantui tingginya harga tiket pesawat rute domestik. Angan-angan bersilaturahmi di kampung halaman terancam sirna.

Hasil rapat koordinasi Kementerian Koordinator (Kemko) Bidang Perekonomian awal bulan ini memberikan secercah harapan. Kementerian Perhubungan (Kemhub) diberi tenggat waktu untuk menetapkan tarif batas atas dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat.

Gayung bersambut dengan rilis Keputusan Menteri Perhubungan No. 106/2019 yang mewajibkan maskapai menurunkan tarif batas atas per 18 Mei 2019 lalu. Tarif diturunkan pada kisaran 12%–16% dan hanya berlaku rute yang dilayani pesawat jet. Lantas apakah kebijakan ini merupakan solusi terbaik?


Dewasa ini Grup Garuda Indonesia dan Grup Lion menguasai sekitar 96% pasar penerbangan domestik. Secara de facto, pasar duopoli tercipta. Kompetitor lain tidak memiliki cukup kekuatan untuk mempengaruhi harga tiket. Banyak pihak mengindikasikan tercipta kartel dalam industri penerbangan nasional.

Dua langkah lebih maju, Pemerintah Indonesia sebaiknya mempertimbangkan apakah jumlah maskapai nasional khusus rute domestik perlu diatur. Kompetisi sehat diperlukan dengan mengurangi dominasi (grup) maskapai.

Sebagai gambaran, Korea Selatan mengatur jumlah maskapai penerbangan nasional. Tujuannya tidak lain menjamin harga tiket domestik tetap kompetitif dan menghindari terbentuknya kartel. Kebijakan tersebut terbukti berdampak positif dalam menggiatkan pertumbuhan pariwisata lokal. Saat ini Pulau Jeju merupakan salah satu daya tarik utama pariwisata negeri ginseng. Mengandalkan kedatangan pelancong melalui penerbangan Seoul-Pulau Jeju, rute domestik ini menjelma menjadi yang tersibuk di dunia pada tahun 2018.

Masuk akal jika Pemerintah Korea Selatan berkepentingan menjaga harga tiket tetap terjangkau. Perlindungan konsumen terjamin, bisnis logistik turut diuntungkan. Pemerintah Indonesia dapat mencermati kebijakan mereka mengingat sekedar mengutak-atik tarif batas atas tidak akan menyelesaikan inti permasalahan.

Logika sederhananya selama maskapai bermain dalam koridor, maka tidak ada peraturan yang dilanggar ketika menetapkan tarif mendekati kisaran batas atas. Konsep tersebut ibarat senjata makan tuan dan rawan disalahgunakan dalam pasar duopoli.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) seharusnya mengevaluasi Kerja Sama Operasi (KSO) antara Grup Garuda dengan Grup Sriwijaya. Tidak dipungkiri KSO turut mempengaruhi terciptanya pasar duopoli sebagaimana diikuti kenaikan harga tiket berjamaah dalam beberapa bulan terakhir. Sebagai langkah alternatif, KPPU dapat mempertimbangkan untuk mengutak-atik slot maskapai di bandara demi membuka ruang bagi kompetitor.

Terkait pasar penerbangan pesawat baling-baling (propeller), momentum tercipta untuk menghidupkan kembali Merpati Nusantara. Kehadirannya dapat menjadi solusi dengan meramaikan kompetisi. Tentunya dengan catatan kembali ke fitrah, tidak tergoda akan ekspansi armada jet.

Liberalisasi pasar domestik

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani sempat mengusulkan rute penerbangan domestik dibuka bagi maskapai regional seperti Jetstar dan AirAsia guna meningkatkan kompetisi (3/5/2019). Tujuan akhir tidak lain menurunkan harga tiket agar bisnis perhotelan dan pariwisata kembali bergairah.

Menarik mencermati usul tersebut mengingat dunia penerbangan nasional selama ini mengharamkan asas cabotage. Hanya maskapai berbendera Indonesia yang dapat menerbangkan rute domestik.

Berasal dari kata cabo bahasa Spanyol, istilah cabotage pertama kali diperkenalkan di Prancis pada abad ke-17. Cabotage didefinisikan sebagai navigasi antar pelabuhan dalam satu negara. Saat itu (Kerajaan) Prancis memiliki dua ratus pelabuhan lebih. Menyambut era merkantilisme, Raja Henry IV mengenakan pajak bagi kapal asing pelaku cabotage. Pada tahun 1791, cabotage dilarang bagi kapal asing mengingat kedaulatan perekonomian negara terancam.

Tiga abad berselang, secara umum larangan cabotage diberlakukan banyak negara dalam dunia penerbangan sipil komersial. Pada era- Perang Dingin, pertimbangan aspek pertahanan melengkapi. Penerapan asas ini menjadi lebih lunak ketika dunia memasuki era-liberalisasi.

Diizinkannya maskapai Uni Eropa melakukan cabotage berujung pada evolusi fungsi pesawat. Peran burung besi berkembang menjadi katalis pembangunan ekonomi. Maskapai berbendera Uni Eropa diberikan stimulus menerbangi rute regional. Subsidi (state aid) bagi maskapai dan bandara digelontorkan secara bersyarat mengingat Uni Eropa memiliki rezim hukum kompetisi.

Alhasil, bukan profit semata yang didulang maskapai, atau minimal jaminan keberlangsungan operasional maskapai, tetapi terpenting penerbangan sipil komersial telah memberikan dampak positif terhadap pembangunan daerah. Konektivitas domestik menjadi infrastruktur penyokong pertumbuhan ekonomi regional, salah satunya melalui sektor pariwisata.

Perubahan pandangan ini mendorong harga tiket penerbangan intra-Uni Eropa tetap terjangkau. Faktor pendukung lain ialah kehadiran hukum kompetisi yang secara khusus mencakup dunia penerbangan, serta kuatnya kurs Euro terhadap Dollar AS. Sebagai gambaran, harga tiket maskapai berbiaya hemat rute Amsterdam-Budapest dapat dibeli seharga empat paket hamburger McDonalds jika dipesan jauh hari.

Keadaan Uni Eropa tentu berbeda dengan Indonesia. Proteksionisme melalui larangan cabotage masih berlaku. Berhubung isu cabotage sangat sensitif, kecil kemungkinan maskapai asing diizinkan menerbangkan rute domestik.

Pelajaran dapat dipetik melalui refleksi sejauh mana maskapai nasional menargetkan keuntungan dari penjualan tiket semata. Jika pandangan konservatif masih dominan, nampaknya mustahil harga tiket akan jauh di bawah tarif batas atas. Jika Pemerintah ingin intervensi, alangkah baiknya tidak sebatas meminta maskapai menurunkan harga. Mereka sudah memiliki struktur biaya dengan biaya avtur dan leasing yang mendominasi.♦

Ridha Aditya Nugraha Anggota German Aviation Research Society, Berlin, Jerman

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi