KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Reformasi perpajakan di Amerika Serikat (AS) akan menjadi tolak ukur bagi Indonesia untuk mengubah sistem perpajakannya. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemkeu Suahasil Nazara mengatakan, revisi UU KUP harus menyesuaikan langkah reformasi pajak di AS agar Indonesia tidak ketinggalan. "Drafnya sudah ada dan sekarang secara resmi dalam tahap pembahasan. Kami harap ini segera jalan dan lebih intensif diskusinya," ucap Suahasil, Kamis (28/12). Namun Indonesia tidak akan menelan mentah-mentah reformasi pajak di AS. Suahasil menyatakan, pemerintah masih akan melihat perilaku dan cara pandang pebisnis AS terutama dalam konteks operasional perusahaan. Pemerintah juga akan melihat kelompok bisnis AS yang beroperasi di Indonesia sebagai bahan perbandingan.
"Kita lihat apakah pebisnis AS yang beroperasi di Indonesia tambah investasi atau bawa pulang dana mereka," ujarnya. Terkait revisi UU KUP, menurut Suahasil, akan dilanjutkan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Robert Pakpahan pada tahun depan. "Pak Robert sudah punya pegangan yang akan diteruskan," ucapnya. Dipelajari lebih dulu Direktur Peraturan Perpajakan II Ditjen Pajak Kemkeu Yunirwansyah mengatakan, pihaknya melihat beberapa aspek yang bisa dijadikan tolok ukur dari reformasi pajak di AS terhadap revisi UU KUP, revisi UU Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). "Kami pelajari dulu apa saja yang cocok dan pas nantinya dalam UU pajak kita," katanya. Menurutnya, salah satu yang tengah menjadi perhatian pemerintah adalah soal tarif PPh badan. Saat ini tarif PPh badan di Indonesia adalah 25%. "(Tarif) termasuk yang akan dibahas," katanya. Dalam reformasi pajaknya, AS akan penurunan tarif PPh Badan dari 35% ke 21%. Pengamat perpajakan Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan,
benchmarking reformasi pajak AS bisa masuk dalam poin-poin UU PPh. Dari sisi PPh Badan, pertama, soal tarif. Kedua, soal sistem pemajakan ke territorial. "Indonesia sendiri masih menganut sistem worldwide," katanya. Namun perubahan sistem pemajakan itu belum tentu tepat bagi Indonesia yang belum menjadi
capital exporting country. Selain itu, lanskap pajak yang transparan dan memungkinkan pertukaran informasi justru meningkatkan efektivitas sistem pajak worldwide.Ketiga, ketentuan
fixed ratio pembatasan biaya bunga yang dipatok 30% dari EBITDA. Artinya biaya bunga yang melebihi rasio 30% tidak bisa menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Ini untuk mengatasi perencanaan pajak melalui utang yang berlebihan serta mendorong struktur permodalan usaha yang lebih sehat. "Di Indonesia aturan yang dianut adalah berdasarkan fixed ratio antara utang terhadap modal sebesar 4 banding 1," katanya.
Keempat, revisi ketentuan anti penghindaran pajak, semisal BEAT
(Base Erosion Anti-Abuse Tax), ketentuan CFC,
alternative minimum tax, dan sebagainya. Sedang dari sisi PPh Orang Pribadi. Pertama, penurunan tarif kelompok lapisan penghasilan tertinggi. Indonesia perlu meninjau lapisan penghasilan serta tarif pajak. Selain untuk optimalisasi penerimaan pajak dan mendorong aktivitas ekonomi, juga menjamin distribusi penghasilan. Kedua, fasilitas pajak yang lebih tinggi baik pembebasan
(exemption), pengurangan
(deduction), dan
tax credit. "Struktur fasilitas pajak perlu untuk ditinjau. Misal, apa perlu mempertahankan rezim Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau diubah jadi kredit pajak," katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie