Reformasi dan Opisisi Pemuda



Pengantar

Artikel opini ini telah terbit di Harian KONTAN, Rabu, 14 Mei 2014, bertepatan dengan peringatan kelahiran era reformasi. Redaksi menurunkan lagi artikel ini di Kontan.co.id untuk menjangkau pembaca yang lebih banyak lagi. Selamat membaca.

Reformasi dan Opisisi Pemuda


Oleh Ismatillah A. Nu'ad,Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan, Universitas Paramadina, JakartaEnam belas tahun tahun sudah reformasi berlalu dari Republik ini sejak kali pertama didengungkan pada Mei 1998. Sebagian agenda reformasi telah terlaksana, sebagian belum, atau bahkan hanya sekadar basa-basi. Reformasi didengungkan oleh kaum muda bernama mahasiswa. Pada 1998, pagi-pagi buta, teriakan reformasi oleh pemuda mahasiswa membahana ke segenap penjuru negeri. Hari ini kita teringat lagi bahwa pemuda adalah aktor perubahan.

Jika ada pepatah Arab menyebutkan “kaum muda adalah anak dari sebuah zaman” (al-Rajulu ibn bi’atihi), atau ada Hadis Nabi menyatakan subbanul yawm rijalul ghad (kaum muda hari ini adalah generasi penerus masa akan datang), itu menandakan bahwa baik-buruk, maju-mundur, bangkit-terpuruknya bangsa ini, ditentukan oleh kaum mudanya. Jika kaum mudanya bangkit, maka bangkitlah bangsa ini. Sebaliknya, jika kaum mudanya jatuh, maka jatuh pula-lah bangsa ini.

Pada pidato dalam acara Youth Service Day di pertengahan 60-an, Martin Luther King Jr (1929-1968) pernah mengingatkan kaum muda bahwa terjadinya politik kesetaraan di Amerika adalah berkat peran yang begitu besar dari kaum muda kulit hitam. Di sebuah masa, ketika karier dan kekayaan menjadi hal sekunder, dan kaum muda lebih memilih dipenjara demi sebuah perubahan besar, saat itu King Jr berada di garda terdepan untuk memperjuangkan kesetaraan hak-hak warga sipil kulit hitam, walau nyawa sebagai taruhannya.

Di tengah arus budaya globalisasi dan fetisisme seperti sekarang ini, peran kaum muda dalam tubuh bangsa ini terasa kian kendur. Mereka lebih memilih bergaya hidup mewah, up to date, mengejar karier, profesionalitas serta jabatan, mereka tak mau ketinggalan menyesuaikan diri dengan budaya populer. Anak muda sekarang umumnya kurang tertarik membicarakan isu-isu kebangsaan yang sangat penting. Seperti soal bencana alam dan bagaimana cara menanggulanginya, pentingnya pemberantasan korupsi, soal perubahan bangsa atau urgensi pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II bagi bangsa Indonesia 5 tahun ke depan.

Padahal, pada masa-masa Indonesia menuju kemerdekaan, tak kurang tokoh-tokoh muda seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, M. Natsir, D.N Aidit, Tan Malaka, dan masih banyak lagi, berlomba-lomba membuat gerakan kebangsaan supaya Indonesia dapat keluar dari penjajahan. Mereka berbeda paham tentang cara dan strategi, namun sama-sama memiliki satu tujuan; kemerdekaan bagi Indonesia!

Karier dan profesi

Perihal budaya kaum muda sekarang yang berbeda dengan zaman dulu, tokoh seperti Ahmad Syafii Maarif atau biasa disebut Buya Syafii, yang orang Minang, pernah menceritakan kegelisahannya. Menurutnya, zaman dulu banyak pemuda Minang yang menjadi tokoh bangsa seperti H. Agus Salim, Bung Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Buya Hamka, Sutan Takdir Alisjahbana, dan masih banyak lagi.

Namun kini menurutnya, pemuda Minang lebih senang mengejar karier, profesi, dan jabatan. Mereka lebih senang menjadi dokter, insinyur, akuntan, atau lawyer. Kepentingannya lebih bersifat untuk individu, ketimbang untuk kepentingan publik. Jika mau merujuk dari akarnya, orientasi pendidikan semestinya harus bisa diubah, dari pembangunan intelektual-akademis untuk privat menuju intelektual-akademis untuk kepentingan publik.    

Menurut Kuntowijoyo (Interpretasi untuk Aksi, 1996), mantan Presiden Soekarno lewat kekuasaannya dulu sangat berhasil menawarkan “zaman ideologis” pada kaum muda. Dalam fase itu, membuat gerakan kepemudaan seperti HMI, PMII, IMM, GMKI, dan sebagainya, yang dilakukan kaum muda zaman dulu, menjadi sangat populer dan menjadi pilihan hidup yang mulia. Kaum muda saat itu sangat kritis menjaga, mengawal, dan menuntun jalannya roda pemerintahan.

Sehingga, misalnya, saat itu banyak aktivis tapi juga menyandang predikat sebagai seorang mahasiswa kedokteran, mahasiswa teknik, mahasiswa pertanian, atau mahasiswa ekonomi. Jurusan-jurusan tersebut populer di dunia kampus dan di kalangan aktivis. Kini hal itu sangat jarang terjadi. Kini, paling hanya ada mahasiswa kedokteran an sich, tanpa ada embel-embel aktivis mahasiswanya. Karena orientasi pendidikannya hanya ingin mengejar karier dan profesionalitas.

Jika kebanyakan kaum muda kini hanya berorientasi karier, jabatan, atau profesionalitas, maka ke depan apalah jadinya bangsa ini. Dunia kampus atau dunia intelektual di kalangan muda sudah tak lagi berpihak pada kepentingan publik, tapi hanya berpihak pada kepentingan pribadi, korporasi, atau kekuasaan semata. Di satu sisi, mengejar karier dan profesionalitas memang penting, tapi di sisi lain kiranya penting untuk membangkitkan lagi “zaman ideologis” seperti dulu pernah dibumikan oleh Bung Karno.

Sehingga, kaum muda tak kehilangan ruhnya. Ruh kaum muda pada intinya ialah menjadi pembaru di tengah konservatisme, pendobrak kebekuan, pembawa perubahan, dan penyulut revolusi. Jika pada Pemerintahan SBY jilid II kini sudah tak ada lagi kelompok oposisi, karena para elite politik sudah berbagi kekuasaan, maka kaum muda-lah yang kali pertama berikrar menjadi kelompok oposisi bagi pemerintah.

Kaum muda-lah yang kali pertama akan menyentil pemerintahan jika melenceng dari komitmen kebangsaan. Jika pemerintah berbuat korup dan tak memberi rasa keadilan serta kesejahteraan bagi rakyatnya, maka pemerintah akan berhadapan dengan kaum muda yang mendamba  pada perubahan. Semoga.                                                  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Umar Idris