KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Reformasi pajak secara resmi dimulai pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2008 melalui program
sunset policy. Melalui program itu, pemerintah memberikan fasilitas perpajakan berupa penghapusan bunga administrasi pajak. Program itu diharapkan menjadi titik awal peningkatan kepatuhan masyarakat membayar pajak. Namun sayangnya, niat itu tidak berbanding lurus dengan realisasi. Sebab, penerimaan pajak justru kian melambat pertumbuhannya, hanya rata-rata sebesar 10,3% per tahun. Bahkan perlambatan pertumbuhan penerimaan pajak secara konsisten terjadi di periode 2014–2017. Selain faktor pelambatan ekonomi sebagai imbas penurunan harga komoditas yang terjadi tahun 2010 hingga 2014, penurunan rasio pajak terjadi karena sumber daya manusia di kantor pajak yang sedikit dan belum memahami teknologi.
Banyak pegawai pajak, khususnya
Account Representative (AR) bekerja manual meski sudah ada sebuah sistem yang mendukung. Teknologi bergerak cepat, tapi perpajakan Indonesia tak mampu ikuti perkembangannya. Hal itu diakui oleh Dirjen Pajak Robert Pakpahan. "AR kami masih mengolah data secara manual. Seharusnya sudah sangat canggih, SPT (surat pemberitahuan) Pajak, pembayaran, dan data pihak ketiga masuk ke sistem yang terpadu. Bila ini ada, maka akan mengubah drastis kantor pajak bekerja. Sekarang ada teknologi, tapi tidak semua proses bisnis ada di sana," katanya, akhir pekan lalu di Lombok. Ditjen Pajak juga diakui belum memiliki proses bisnis yang solid. Belum ada alur yang spesifik untuk menuju proses audit atau pemeriksanaan. "Kalau di proses bisnis lama, loncat saja tiba-tiba audit (pemeriksaan). Dalam proses bisnis yang baru, harus lebih terdefinisikan. Mulai sekarang kami sudah lakukan tetapi masih
ad hoc," terang Robert. Oleh karena itu, menurut Robert, setidaknya hingga tahun 2021, perubahan pada perpajakan akan berkutat pada proses bisnis dan sistem IT. Kuncinya adalah pada sistem yang disebut
coretax. "Sebab tanpa otomasi, kami tidak bisa kelola informasi," tandas Robert. Namun, pengadaan untuk
coretax cenderung lamban. Hingga sekarang, peraturan presiden (Perpres) untuk pengadaannya masih di meja presiden. Padahal, dalam
roadmap reformasi perpajakan, pada kuartal III 2018 ditargetkan sudah masuk tahap
bidding agar pembangunan sistem ini mulai jalan di kuartal II 2019 hingga kuartal III 2020. Rencananya, Indonesia akan membeli sistem yang sudah jadi. Sebab sudah ada
over the counter software untuk jalankan fungsi otoritas pajak di berbagai negara. Meski perlu modifikasi, diharapkan itu hanya 20% saja dari sistem, sisanya sudah solid. "
Deployment pertama ditargetkan mulai kuartal IV 2020. Di kuartal II 2021 kami harap Ditjen Pajak untuk terima SPT, terima pembayaran, dan registrasi, sudah gunakan sistem baru. Enam setengah tahun
multiyears dari segi anggaran," papar Robert. Dengan sistem
coretax yang sudah canggih, ia berharap tak ada lagi staf pajak yang nakal. Dalam kasus pemerasan yang dilakukan oleh AR di Bangka misalnya. Untuk memeras, pelaku membuka data kepemilikan saham milik WP. Nantinya, apabila sistem sudah canggih, siapa yang membuka data WP akan ketahuan dalam
taxpayer account milik WP. Setiap WP Orang Pribadi (OP) bisa mengakses informasi perpajakannya, mulai dari SPT, pembayaran, tunggakan, dan data-data lainnya.
"Siapa yang buka nanti ketahuan. Hebatnya sistem yang canggih adalah
traceability-nya. Ini tidak bisa dihapus, jelas Robert. Adanya sistem
coretax yang baru juga pada akhirnya akan membantu Indonesia menaikkan rasio pajak dan kepatuhan pajak. Dengan perbaikan ini kami harap
tax gap semakin tertutup. Gap di administrasinya tidak ada lagi sehingga
compliance level bisa mendekati 100%, kata Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan DJP Yon Arsal. Nah, sekarang ini bola reformasi pajak ada di Presiden Jokowi. Makin cepat sang dirigen memberi aba-aba, irama akan sejalan. Kantor pajak harus segera berbenah agar penerimaan pajak surplus bukan lagi mimpi di siang bolong. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto