KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga pemeringkat utang Moody's mengingatkan kinerja penerimaan negara yang lemah bisa mengancam penurunan peringkat Indonesia. Reformasi perpajakan untuk mengatrol kinerja penerimaan negara menjadi salah satu syarat mempertahankan peringkat utang saat ini, atau bahkan bisa naik level. Moody's menyematkan rating Baa3 (
investment grade) kepada Indonesia sejak tahun 2012. Terakhir, Moody's memperbaiki
outlook sovereign credit rating Indonesia dari
stable menjadi
positive pada 8 Februari 2017 lalu. Kini Moody's menyoroti utang Indonesia yang terus membengkak. Di sisi lain, kinerja penerimaan negara juga mengecewakan.
Menurut data yang diperoleh KONTAN, penerimaan pajak tercatat telah terkumpul sebesar Rp 858,05 triliun sepanjang Januari-30 Oktober 2017 atau 66,8% dari target APBNP 2017. Pajak merupakan penyumbang terbesar penerimaan negara, dengan kontribusi hampir 90%. Soverign Analyst Moody's Investor Service Anushka Shah menjelaskan, meningkatkan pendapatan merupakan tantangan bagi Indonesia. Sebab, dalam hal pendapatan, Indonesia berada di bawah negara-negara lain yang memiliki rating Baa3. Menurut data
Haver Analytics, Moody's Investors Service, pendapatan pemerintah pada tahun 2016 hanya 13% dari PDB. Sedangkan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand sudah di atas 15%. Tahun depan, Moody's memperkirakan pertumbuhan penerimaan negara akan melambat dibandingkan tahun ini yang kemungkinan akan meningkat 11,6%. Kontribusinya terhadap PDB pun diyakini tidak berubah. Malah cenderung stagnan sampai 2019. "Ada aturan fiskal yang membatasi beban utang, tapi penerimaan negara masih lemah, yang memberatkan keterjangkauan utang (
debt affordabilty) secara keseluruhan," jelas Anushka dalam acara Moodys Inside ASEAN: Spotlight on Indonesia Media Roundtable, Selasa (28/11). Di sisi lain, rasio pembayaran bunga utang dari pendapatan Indonesia sebesar 12% atau merupakan kelima tertinggi setelah India, Colombia, Bahama, dan Filipina. Oleh karena itu, agar rasio pembayaran bunga utang bisa ditekan, pemerintah wajib meningkatkan rasio penerimaan dengan menggenjot pajak. Anushka menegaskan, peningkatan pendapatan adalah salah satu syarat jika Indonesia ingin mendapatkan kenaikan peringkat utang dari Moody's. Syarat lainnya adalah progres dalam keberlanjutan mengurangi kerentanan eksternal, seperti melalui pengurangan ketergantungan pemerintah terhadap utang luar negeri. "Reformasi pajak, kunci meningkatkan penerimaan negara," tandas Anushka.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan memastikan, program reformasi pajak masih menjadi agenda utama hingga tahun depan. Selain peningkatan kualitas sumber daya manusia, reformasi pajak juga akan berlangsung melalui perbaikan sistem data. Direktur Peraturan Perpajakan II Yunirwansyah menjelaskan, ada sekitar 10,5 miliar data wajib pajak yang yang dikelola Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP) sejak 2004. Data itu dipastikan akan bertambah terus. Agar data itu bisa dimanfaatkan secara optimal, Ditjen Pajak sedang membangun sistem informasi terpadu. "Dengan sistem itu, kami bisa melakukan
mapping risk wajib pajak," jelas Yunirwansyah, Selasa (28/11) Asal tahu saja, saat ini Ditjen Pajak memiliki sistem informasi DJP coretax, namun kemampuannya belum optimal karena sistemnya usang. Dengan sistem baru, Ditjen Pajak bisa memetakan wajib pajak berdasarkan risiko, yaitu tinggi, sedang, dan rendah atau disebut dengan
Compliance Risk Management (CRM). Ini akan memudahkan kerja petugas pajak untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini