KONTAN.CO.ID - JAKARTA. ReforMiner Institute menilai sumber energi panas bumi paling potensial dalam mendorong target pemerintah untuk transisi energi dalam beberapa tahun ke depan. Seperti diketahui, pada 2060 nanti Indonesia menargetkan zero emissions. Salah satu upaya yang dilakukan yakni dengan menghentikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara pada 2025 mendatang. Selain itu, Pemerintah juga sedang menyiapkan kebijakan pajak karbon. Inisiatif kebijakan pajak karbon tertuang dalam Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2022 tentang Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Struktural.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan upaya transisi energi khususnya disektor kelistrikan kemungkinan tidak berjalan dengan mudah. Hal ini tercermin dari ketergantungan penyediaan listrik dari batubara yang masih mendominasi.
Baca Juga: Pemerintah akan revisi UU Pajak, komoditas hasil pertambangan ini diusulkan kena PPN "Porsi realisasi produksi listrik dari batubara mencapai 66,30 % dari total produksi listrik pada tahun 2020. Sejalan dengan mulai tercapainya Commercial Operating Date (COD) program 35.000 MW, porsi produksi listrik dari batubara diproyeksikan akan meningkat menjadi sekitar 70,10% pada tahun 2024 mendatang," kata Komaidi, Selasa (15/6). Komaidi melanjutkan, realisasi porsi produksi listrik dari EBT yang terbesar terjadi pada tahun 2020 dimana sekitar 14% dari total produksi listrik nasional disokong dari EBT. Peningkatan ini didorong berkurangnya produksi listrik dari gas sebesar 13.368 GWh. Kendati demikian, peningkatan dari EBT disebut hanya mencapai 4.906 GWh. Untuk itu, tahun 2025 dinilai sebagi periode yang krusial bagi pengembangan EBT. Produksi listrik EBT ditargetkan meningkat dari 46.202 GWh pada 2024 menjadi 82.176 GWh pada 2025. Pemenuhan produksi ini sejalan dengan penurunan produksi listrik dari pembangkit fosil yang ditargetkan bakal berkurang sebesar 14.897 GWh. "ReforMiner menilai dari sejumlah jenis EBT yang dimiliki Indonesia, sumber energi panas bumi dapat dikatakan merupakan jenis EBT paling potensial untuk dapat mengakomodasi kebijakan transisi energi di sektor kelistrikan Indonesia," ujar Komaidi. Potensi panas bumi di Indonesia mencapai 29.544 MW atau setara dengan 47,30 % dari total kapasitas pembangkit di Indonesia yang sampai dengan Desember 2020 tercatat sebesar 62.449 MW. Selain itu, produksi listrik dari panas bumi dapat berperan sebagai
base load sebagaimana produksi listrik yang selama ini diproduksikan dari gas dan batubara. Keunggulan yang lain, Capacity Factor (CF) pembangkit listrik panas bumi (PLTP) dapat mencapai kisaran 90 %, yang mana lebih tinggi dari CF PLTS yang tercatat sekitar 18% dan PLTB sekitar 30%.
Panas bumi masih terkendala
Meskipun memiliki potensi yang tergolong besar dan sejumlah keunggulan ketimbang jenis EBT lain, Komaidi memastikan pengembangan panas bumi masih terkendala. Pengembangan panas bumi di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1972, sayangnya pemanfaatannya baru mencapai sekitar 4%.
Adapun, upaya mendorong jenis EBT lainnya juga masih terhambat dan bersifat intermitensi (terputus-putus). "Untuk PLTS misalnya, dalam proses produksinya akan menghasilkan energi listrik dalam jumlah yang fluktuatif tergantung atau ditentukan dari intensitas cahaya matahari. Demikian pula untuk PLTB, jumlah listrik yang diproduksikan juga akan bergantung terhadap kecepatan angin," terang Komaidi. Dengan konsekuensi tersebut, Komaidi mengungkapkan perlunya kesiapan sistem kelistrikan. Sejumlah hal yang diperlukan meliputi penyediaan reserve margin yang cukup dan tepat, perlu dilengkapi sensor cuaca yang terintegrasi dengan sistem kelistrikan yang besar serta perlunya solusi tambahan agar sifat intermitensi tidak ganggu kestabilan sistem.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi