KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kebijakan pemerintah yang terus berubah-ubah membuat sejumlah calon investor membatalkan rencana investasinya di Indonesia. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia Bob Azam mengatakan, Indonesia memiliki tiga kesempatan untuk menjadi negara maju dalam puluhan tahun terakhir dengan menjaring banyak investor baru. "Kesempatan di 2011 kita untuk
leading gagal begitu saja karena isu pengupahan. Kemudian sekarang terganjal lagi. Kita sudah sekian kali kehilangan kesempatan menjadi negara maju karena isu-isu perburuhan," ungkap Bob kepada awak media di Jakarta, Selasa (26/11).
Baca Juga: Inkonsistensi Kebijakan Soal Upah Hambat Rencana Investasi Dunia Usaha Bob menjelaskan, para pengusaha tentunya juga mempertimbangkan mengenai perbaikan upah dari para pekerja. Pihaknya pun mengusulkan penggunaan skema bipartit dalam penentuan upah para pekerja. "Upah yang diputuskan masing-masing perusahaan karena yang paling tahu maju mundurnya perusahaan ya perusahaan itu (sendiri)," jelas Bob. Ketua Dewan Pembina Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Harijanto mengatakan, industri alas kaki tumbuh positif dalam beberapa tahun terakhir. Tercatat, ekspor sepatu Indonesia hingga tahun 2023 nilainya mencapai US$ 6,8 miliar. Indonesia menargetkan dapat mengejar Vietnam yang sudah mencapai US$ 30 miliar. Sayangnya, persoalan soal upah jadi salah satu pertimbangan investor baru untuk masuk ke Indonesia. Asal tahu saja, adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2023 turut mempengaruhi dunia usaha.
Baca Juga: Kepemilikan Asing di SBN Hanya 14,98% per Oktober 2024 Putusan tersebut berisi 21 poin yang mengubah aturan ketenagakerjaan dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja "Adanya putusan MK itu membuat investor yang sudah masuk menjadi khawatir karena demikian mudahnya di negara ini sesuatu yang sangat krusial bagi industri padat karya itu dimentahkan begitu saja oleh MK," tegas Harijanto. Harijanto mengatakan, industri alas kaki yang merupakan industri padat karya sangat sensitif mengenai kebijakan upah. Dengan jumlah tenaga kerja di atas 10 ribu orang, kenaikan sekecil apa pun berpotensi mengerek pengeluaran tambahan. Kenaikan pengeluaran ini tidak serta merta bisa ditutupi dengan peningkatan produktivitas karena peningkatannya hanya kisaran 1%-3% per tahunnya. Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengatakan, pemerintah harus tetap memperhatikan industri padat karya. Terlebih, dalam beberapa tahun mendatang Indonesia akan menghadapi bonus demografi.
Baca Juga: Kemenperin Sebut Industri Kabel Indonesia Berpeluang Perluas Pasar Ekspor "Berarti angkatan kerja akan banyak di sana. Industri sangat memerlukan kepastian, industri tekstil ini investasinya jangka panjang. Sekarang gak ada investasi mesin kembali dalam 5-8 tahun, rata-rata di atas 10 tahun," kata Jemmy. Jemmy mengakui, industri tekstil kini sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Selain tantangan soal UMP, industri tekstil turut dihadapkan pada potensi perang dagang AS-China hingga rencana kenaikan PPN 12% hingga kenaikan biaya energi atau bahan bakar.
"Ini PR-nya cukup banyak, jadi kita mau bersama-sama memikirkan dengan arif bijaksana menentukan angka yang realistis," jelas Jemmy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .