Regulasi EBT tidak pro investasi, pengembang listrik swasta mengadu ke wapres



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para pengembang listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) mengadu ke Wakil Presiden (Wapres) RI Jusuf Kalla untuk memprotes regulasi yang diterbitkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan. Ini berkenaan dengan percepatan investasi pengembangan pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT) yang dianggap tidak mendukung pengembang.

Pelaku usaha yang terdiri dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Masyarakat energy Baru dan Terbarukan Indonesia (METI), Asosiasi Perusahaan Pengembang Listrik Tenaga Air (APLLTA), AESI, APLIBI, APROBI dan PPLSTA menyampaikan beberapa poin yang menjadi keberatan para pengembang.

Di antaranya, pertama, harga pembelian tenaga listrik yang kurang memadai. Kedua, keharusan menyerahkan asset pada akhir masa kontrak kepada pemerintah atau PT PLN (Persero) dengan harga US$ 1.000 (BOOT). 


Ketiga, skema pemilihan langsung untuk pengadaan pengembang yang tidak sesuai. Keempat, klausul Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) yang tidak bankable. Kelima, kurang seriusnya dalam kandungan lokal atau TKDN. Dan keenam, pungutan dan iuran yang memberatkan.

Dalam surat rekomendasi kepada Wapres Jusuf Kalla yang diterima KONTAN itu menyebutkan, untuk harga pembelian listrik oleh PLN dari pembangkit listrik EBT ditentukan berdasarkan harga keekonomian berkeadilan berdasarkan, UU No. 30/2007 tentang Energi.

“Harga ditetapkan berdasarkan level feed in tariffs untuk masing-masing jenis pembangkit EBT yang ditetapkan dalam USD dan dibayar dalam IDR, sesuai dengan peraturan yang berlaku,” seperti dalam surat yang diterima KONTAN, yang telah ditandatangani beberapa ketua Asosiasi tersebut, Senin (29/1).

Berkenaan dengan skema BOOT, dalam rekomendasi itu disebutkan, sesuai dengan amanat Mahkamah Konstitusi (MK) ‘dikuasai oleh negara’ tidak dimaknai sebagai ‘dimiliki oleh negara'. Maka penerapan skema BOOT itu dihapuskan. Namun, apabila skema BOOT tetap diterapkan maka nilai aset pada saat transfer dinilai berdasarkan harga pasar pada saat transfer, tidak hanya US$ 1.000 sebagai mana tercantum dalam template PJBL saat ini.

“Pemerintah memberikan opsi kepada pengembang, apakah akan mentransfer aset atau memperpanjang kontrak dengan harga pembelian tenaga listrik yang akan disepakati kemudian,” tandasnya.

Ketua APPLTA, Riza Husni mengatakan, peraturan-peraturan yang telah diterbitkan nyatanya tidak bisa mendorong investasi EBT. “Ini menindaklanjuti pertemuan Desember lalu. Semoga pak Jusuf Kalla bisa membujuk Menteri Jonan memperbaiki aturan yang ada,” terangnya kepada Kontan.co.id, Senin (29/1).

Ketika dikonfirmasi sebelumnya, Menteri ESDM, Ignasius Jonan mengatakan, Permen No. 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber energi Baru Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik. “Permen itu (50/2017) tidak akan dihapus, kecuali masyarakat mendukung tarif listrik naik secara harga pasar,” tandasnya.

Kementerian ESDM sebelumnya menghapus 11 Permen maupun Kepmen yang dijadikan satu menjadi Permen No. 02/2018 tentang Pemberlakuan SNI di bidang ketenagalistrikan. Dalam waktu dekat akan ada empat Permen yang akan disederhanakan berkaitan dengan sertifikasi, safety dan keselamatan kerja. "Ada dua permen lagi (yang akan diterbitkan). Itu masing-masing dua, jadi satu," terangnya di Kantor Dirjen Ketenagalistrikan, Senin (29/1)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini