JAKARTA. Hampir tiga tahun implementasi program Jaminan Kesehatan nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berjalan, ternyata masih banyak regulasi yang menghambat. Oleh karenanya perbaikan kebijakan dituntut untuk segera diselesaikan. Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Zaenal Abidin mengatakan, hambatan regulasi ini memberikan dampak langsung terhadap jumlah kepesertaan dan kesejahteraan penyedia jasa medis, program JKN. "Kadang-kadang regulasi menjadi pangkal dari hambatan-hambatan yang dilakukan di BPJS Kesehatan," kata Zaenal, akhir pekan lalu. Beberapa kebijakan yang dimaksud itu adalah, kewajiban memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan. Padahal, saat ini masih banyak penduduk utamanya di daerah yang belum memiliki NIK.
Portabilitas aturan yang dilaksanakan secara kaku turut menghambat pelayanan. Peraturan gubernur yang mengatur regionalisasi atau zonas atas pelayanan kesehatan JKN mengakibatkan peserta JKN tidak leluasa dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Minimnya rujuk balik yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit (RS) menimbulkan penumpukan di pelayanan tingkat lanjutan. Padahal, fasilitas kesehatan tingkat pertama harus diotimalkan terlebih dahulu. Pembagian jasa medis dokter juga dinilai masih belum transparan. Walau ada kebijakan yang menyatakan bila jasa medis maksimal ditetapkan sebesar 44% dari biaya kesehatan namun tidak adanya batasan minimal menjadi pangkal persoalan.