Struktur pasar perbankan menjadi salah satu penyebab sulitnya bunga kredit turun. Beberapa kebijakan Bank Indonesia (BI) pun sulit menggiring bank menggunting bunga lebih signifikan. Upaya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) membenahi persaingan di industri ini juga menemui jalan buntu. Mengapa ada dugaan praktik oligopoli? Bunga kredit yang kelewat tinggi dari perbankan kerap menuai kritik. Tapi, tiap kali kritik muncul, bankir selalu punya segudang alasan untuk berkelit atas lebarnya selisih BI rate dengan bunga kredit yang konsisten di atas 5% - 6%. Upaya mengondisikan bank menurunkan bunga, sebenarnya sudah berlangsung sistematis. BI misalnya, menelurkan sejumlah regulasi. Mulai dari kebijakan giro wajib minimum yang dikaitkan loan to deposit ratio (GWM-LDR), transparansi bunga dasar kredit (SBDK), penjarangan lelang SBI dan pemangkasan batas bawah bunga operasi pasar menjadi 150 bps dari BI rate.
Berbagai kebijakan tersebut, terutama GWM-LDR, sukses mendorong bank untuk menggenjot kredit. Tapi, efek ke bunga tak terlalu membekas. Padahal, ekspansi kredit seharusnya memicu persaingan dalam menetapkan bunga kredit lebih murah. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ikut menelisik. Wasit antimonopoli ini penasaran dengan perbedaan net interest margin (NIM) dan biaya operasional bank dibanding pendapatan operasional (BOPO) bank kita dengan perbankan negara lain. KPPU menduga ada kesepakatan terselubung hingga terjadi kegagalan mekanisme pasar dalam penentuan harga. Delapan bulan memeriksa, KPPU tak kunjung menyampaikan hasilnya. Revisi API Terlepas dari pembuktian KPPU dan upaya BI, struktur pasar perbankan kita memang cenderung oligopoli. Namun, yang perlu digarisbawahi, kondisi ini tidak semata disebabkan perilaku bank. Kondisi makro dan regulasi juga mempengaruhi. Ekonom Danareka Institute Purbaya Yudhi Sadewa, menilai, kebijakan arsitektur perbankan Indonesia (API) salah satu pemicu nya. Kebijakan yang meluncur Januari 2004 itu sebenarnya memiliki tujuan mulia. Tapi, ada beberapa kekeliruan dalam stategi pencapaiannya. Antara lain soal konsolidasi perbankan dengan mendorong merger dan akuisisi terhadap bank kurang modal. Ini salah kaprah karena saat bersamaan, BI seolah-olah menutup izin bagi pemain baru. Investor memang masih boleh berkiprah, tapi dengan mengakuisisi bank yang ada. Artinya, jumlah bank dikondisikan terus menyusut. Upaya mengurangi jumlah bank sambil menutup pendatang baru, sama saja menciptakan zona sangat nyaman bagi pemain existing. "Mereka makin mudah mengatur pasar," kata Purbaya. Padahal, mekanisme pasar hanya berjalan jika pelakunya dibiarkan keluar masuk tanpa hambatan. "Ini membuat bank kita selalu menggiurkan di mata asing. Profitabilitasnya tinggi, pasarnya terproteksi," kata Purbaya. Menurutnya, persoalan utama perbankan bukan pada jumlah bank yang ideal, tapi pada ketaatan bank dalam menegakkan good corporate governance. Bank bermodal sedang bisa saja lebih panjang umur, asalkan bisnisnya berjalan benar. Bank bermodal besar bukan jaminan lebih sehat dan tidak membahayakan industri. Ekonom Unika Atma Jaya, A Prasetyantoko, berpendapat oligopoli tak lepas dari sejarah krisis 1998. Penutupan bank kala itu mempengaruhi psikologis masyarakat. Nasabah ragu menaruh uang di bank kecil. Kebiasaan memilih bank besar ini terus berlanjut dan pasar terus mengerucut ke atas. Di negara lain, segelintir bank juga menguasai market share. Namun, kadar oligopoli di perbankan kita lebih kental. Kondisi ini salah satunya karena ketergantungan ekonomi terhadap bank sangat tinggi. "Pasar finansial kita sekitar 50%. Bandingkan dengan Malaysia, di atas 80%," katanya, beberapa waktu lalu. Dari angka 50% itu, 80% berasal dari perbankan. Artinya, bank terlalu menjadi tumpuan. Nah, karena kredit lebih besar dari penawaran, harga atau bunga makin mahal. "Jadi, bunga tinggi bukan cuma karena pasar dikuasai segelintir pemain, juga lantaran terbatasnya pilihan sumber dana," katanya.
Selain itu, beberapa bank besar menyimpan racun bernama obligasi rekapitalisasi. Ini mempengaruhi daya juang bank menjalankan fungsi intermediasi. Tanpa harus jor-joran menyalurkan kredit, bank dapat bunga obligasi rekap. "Ibarat pohon, bank tidak perlu repot manjat karena buahnya berserakan. Tugas BI meninggikan buah itu supaya bank berusaha lebih keras memetiknya," katanya. Untuk keluar dari masalah ini, kata Purbaya, BI harus berbesar hati mengoreksi beberapa hal yang keliru dalam API. Selain itu, BI perlu membuat kebijakan moneter lain yang mendorong bank lebih keras mengelola likuiditasnya. n Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: